Manurung-E ri Matajang, Mata SilompoE (1326–1358)
::Konflik Antar Kalula::
Selama tujuh pariama (diperkirakan kurang-lebih 70 tahun) yang disebut sebagai Bone pada awalnya hanya meliputi tujuh unit anang(kampung)
yakni; Ujung, Ponceng, Ta’, Tibojong, Tanete Riattang, Tanete
Riawang dan Macege, tenggelam dalam situasi konflik yang berkepanjangan.
Kondisi ini dalam bahasa Bugis dikenal dengan istilah sianre bale,
dimana yang kuat memangsa yang lemah. Luas Bone pada masa itu terbilang
lebih kecil dari Ibukota Kabupaten Bone, Watampone sekarang.
Masing-masing anang dipimpin
oleh seorang Kalula, gelar pemimpin kelompok. Situasi politik ini
merupakan akibat langsung dari kondisi tidak adanya (lagi) tokoh yang
mereka anggap sebagai pemimpin besar yang dapat mempersatujuan visi dan
misi ke tujuh anang tersebut.
Menurut lontara’, hal ini secara implisit dijelaskan dalam Sure’ La
Galigo, lebih disebabkan oleh punahnya (sudah tidak terdeteksinya)
keturunan-keturunan La Galigo di Bone. Ketujuh
pemimpin (kalula) kelompok masyarakat (anang) saling
mengklaim “hak” atas kepemimpinan wilayah Bone tersebut. Ada juga
budayawan yang menyebut Kalalu Anang Cina, Barebbo, Awampone dan Palakka
sudah turut dalam perjanjian ManurungE dengan orang Bone, namun karena
kurangnya data/lontara’ yang mendukung, penulis menafikan pernyataan
tersebut.
Konflik
antar kalula berlangsung selama bertahun-tahun. Masing-masing mengkalim
sebagai keturunan La Galigo yang, karena keterbatasannya tidak mampu
menunjukkan bukti-bukti (mereka belum mengenal silsilah), merasa berhak
atas kepemimpinan dikalangan kalula. Semangat kejahiliyahan membara
untuk saling atas-mengatasi sehingga perang saudara (kelompok) tidak
bisa dihindari.
.:Catatan:.
ada yang menafsir satu pariama sama dengan seratus tahun, ada pula yang
mengatakan sepuluh tahun; namun beberapa informasi dari lontara’ lebih
rasional mengikuti yang sepuluh tahun).
::Manurung-E::
Manurung-E, berasal
dari bahasa Bugis yang dalam terjemahan bebasnya berarti “orang yang
turun dari ketinggian“. Dalam aturan bahasa bugis, khususnya Bugis-Bone,
akhiran E dipakai untuk menunjuk kata kepunyaan, akhiran ‘nya’ dalam
bahasa Indonesia. Sehingga akhiran E pada kata Manurung yang diikutinya
akan menunjukkan arti dialah orang yang turun dari ketinggian.
Kepercayaan
Bugis-Makassar sebelum mengenal Islam, Manurung-E atau Tu Manurung
(red. Makassar) dianggap sebagai perwujudan tuhan,dewa (Bugis-Bone: dewata seuwwaE);
manusia yang turun dari langit, namun bukan sebagai manusia pertama
(Adam). Namun seiring perkembangan zaman dan pengetahuan, sulit rasanya
untuk menerima argumen-argumen to-riolo (nenek
moyang). Sejumlah asumsi yang dibangun oleh ahli sejarah pun tidak
cukup memberikan pemahaman yang memadai kepada kita dikarenakan
kurangnya bahan kajian. Satu hal penting yang disepakati oleh para
budayawan adalah bahwa Manurung-E merupakan manusia yang mempunyai
kelebihan dibandingkan manusia lainnya; pandai dan mempunyai wawasan
yang lebih luas dibandingkan masyarakat sekitarnya.
::Berdirinya Kerajaan Bone::
Dalam lontara’ disebutkan, ketika keturunan dari Puatta Menre’E ri Galigo malawini darana (bangsawan
dan rakyat-biasa sudah tidak bisa dibedakan sebagai akibat perkawinan)
terjadi kekacauan yang luar biasa karena ketiadaan sosok pimpinan yang
berasal dari bangsawan (manurung). Keadaan Bone saat itu, chaos.
Norma-norma hukum tidak berlaku, adat-istiadat dipasung, kehidupan
ummat tak ubahnya binatang di hutan belantara, saling memangsa dan
saling membunuh. Bone butuh sosok pemimpin, namun dari kalangan mereka
tidak ada yang saling mengakui keunggulan satu sama lain.
Ketika
konflik tengah berlangsung, sebuah gejala alam yang mengerikan melanda
wilayah Bone dan sekitarnya. Gempa bumi terjadi demikian dahsyatnya,
angin puting beliung menerbangkan pohon beserta akar-akarnya, hujan
lebat mengguyur alam semesta dan gemuruh guntur diiringi lidah kilatan
petir yang menyambar datang silih berganti selama beberapa hari. Gejala
alam seperti ini juga diceritakan dalampararaton (Kitab Raja-raja) dan prasasti peninggalan kerajaan Majapahit.
La Saliyu Karampeluwa (1424–1496)
::Masa Pemerintahan::
Bertahtahnya La Saliyu di Kerajaan Bone tidak serta merta menghilangkan peran penting saudara sepupunya, To Suwalle dan To Sulawekka.Tugas berat justru menantinya. Ayahandanya (La Ummasa) memberi tugas kepada keduanya untuk menjalankan roda pemerintahan sementara mengingat La Saliyu masih bayi. To Sulawekka diserahi tugas untuk mengurus hubungan dengan kerajaan luar, semacam Menteri Luar Negeri, dalam hal ini dikenal dengan istilah Makkedang Tana. Sementara To Suwalle dipercaya memangkunya jabatan sebagai juru bicara yang
bertugas memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan
kebijakan-kebijakan kerajaan. Jabatan ini lah yang kemudian pada
pemerintahan raja-raja selanjutnya menjadi jabatan strategis, yakni
sebagai To Marilaleng. Oleh karena itu, La Ummasa juga merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan dasar-dasar sistem perintahan di kerajaan Bone.
Memasuki usia dewasa, barulah La Saliyu Karampeluwa mengunjungi
orang tuanya di Palakka. Sesampainya di Palakka, kedua orang tuanya
sangat gembira dan diberikanlah pusakanya yang menjadi miliknya, juga
Pasar Palakka. Sejak itu orang tidak lagi berpasar di Palakka tapi
pindah ke Bone.
Pada
masa pemerintahannya, La Saliyu Karampeluwa sangat dicintai oleh
rakyatnya karena memiliki sifat-sifat; rajin, jujur, cerdas, adil dan
bijaksana. Ia juga dikenal pemberani dan tidak pernah gentar menghadapi
musuh. Konon sejak masih bayi tidak pernah terkejut bila mendengarkan
suara-suara aneh atau suara-suara besar.
::Masa Akhir Pemerintahan::
Setelah genap 72 tahun menjadi Mangkau’ di Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan bahwa,
”Saya
mengumpulkan kalian untuk memberitahukan bahwa mengingat usia saya
sudah tua dan kekuatan saya sudah semakin melemah, maka saya bermaksud
untuk memindahkan kekuasaan saya sebagai Mangkau’ di Bone. Pengganti
saya adalah anak saya yang bernama We Banrigau Daeng Marowa yang digelar
MakkaleppiE-Arung Majang”.
Mendengar itu, semua orang Bone menyatakan setuju. Maka dikibarkanlah bendera WoromporongE. Setelah itu berkata lagi Arumpone,
”Di
samping saya menyerahkan kekuasaan, juga saya serahkan perjanjian yang
telah disepakati oleh orang Bone dengan Puatta Mulaiye Panreng untuk
dilanjutkan oleh anak saya”.
Setelah orang Bone kembali, hanya satu malam saja Arumpone meninggal dunia.
::Silsilah::
La Saliyu Karampeluwa dikawinkan
oleh orang tuanya dengan sepupunya yang bernama We Tenri Roppo anak
pattola (putri mahkota) Arung Paccing. Dari perkawinan itu lahirlah We
Banrigau Daeng Marowa digelar MakkaleppiE kemudian menjadi Arung Majang,
We Pattana Daeng Mabela. Sementara bagi orang Bukaka, sebahagian dibawa
ke Majang. Mereka itulah yang menjadi rakyat MakkaleppiE yang
mendirikannya Sao LampeE di Bone, yang diberi nama Lawelareng. Oleh
karena itu, maka digelarlah MakkaleppiE–Massao LampeE Lawelareng. Bagi
orang banyak menyebutnya, Puatta Lawelareng.
Anak
La Saliyu Karampeluwa dengan isterinya We Tenri Roppo Arung Paccing,
adalah ; We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE kawin dengan sepupunya
yang bernama La Tenri Bali Arung Kaju. Dari perkawinan itu lahirlah La
Tenri Sukki, La Panaungi To Pawawoi Arung Palenna, La Pateddungi To
Pasampoi, La Tenri Gora Arung Cina juga Arung di Majang, La Tenri Gera’
To Tenri Saga, La Tadampare (meninggal dimasa kecil), We Tenri Sumange’
Da Tenri Wewang, We Tenri Talunru Da Tenri Palesse.
Adapun
anak La Saliyu Karampeluwa dari isterinya yang bernama We Tenro Arung
Amali yaitu La Mappasessu kawin dengan We Tenri Lekke’.
We Benrigau Daeng Marowa (1496–1516)
We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE menggantikan ayahnya La Saliyu Karampeluwa sebagai Mangkau’ di Bone. We Banrigaudigelar pula Bissu Lalempili dan Arung Majang. Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, We Banrigau menyuruh Arung Katumpi yang bernamaLa Datti untuk membeli Bulu’ Cina (gunung Cina) senilai 90 ekor kerbau jantan. Akhirnya gunung yang terletak di sebelah barat Kampung Laliddong itu benar-benar dibelinya. Kemudian disuruhlah Arung Katumpi untuk menempati gunung tersebut dan sekaligus menjaganya. Karena jennang (penjaga)
gunung Arumpone dibunuh oleh orang Katumpi, maka digempurlah Katumpi
oleh orang Bone sehingga dirampaslah sawahnya yang ada di sebelah timur
dan barat Kampung Laliddong. Saudaranya yang bernama La Tenri Gora itulah yang diserahkan Majang dan Cina, maka La Tenri Gora disebut sebagai Arung Majang dan Arung Cina. Sedangkan anak pertamanya yang bernama La Tenri Sukki dipersiapkan untuk menjadi Mangkau’ di Bone.
Setelah
kurang lebih 18 tahun lamanya dipersiapkan untuk memangku Kerajaan di
Bone, maka dilantiklah La Tenri Sukki menjadi Mangkau’ di Bone dan
menempati Saoraja Bone. MakkaleppiE bersama anak bungsunya yang bernama
La Tenri Gora memilih untuk bertempat tinggal di Cina.
Suatu
saat ketika berada di Cina, MakkaleppiE naik ke atas loteng rumahnya.
Tiba-tiba ada api yang menyala di atas loteng (menurut keyakinan orang
disebut = api dewata). Setelah api itu padam, maka MakkaleppiE tidak nampak lagi di tempat duduknya. Oleh karena itu, We Banrigau Daeng Marowa dinamakan MallajangE ri Cina.
La
Tenri Sukki yang menggantikan ibunya sebagai Arumpone kawin dengan
sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Songke, anak dari La
Mappasessu dengan We Tenri Lekke. Dari perkawinan ini lahirlah La Uliyo
Bote’E. La Panaongi To Pawawoi yang kemudian menjadi Arung Palenna. La
Panaongi kawin dengan We Tenri Esa’ Arung Kaju saudara perempuan We
Tenri Songke. Dari perkawinan ini lahirlah La Pattawe Daeng Sore
MatinroE ri Bettung.
Anak
La Tenri Sukki yang lain adalah ; La Pateddungi To Pasampoi kawin
dengan We Malu Arung Toro melahirkan anak perempuan yang bernama We
Tenri Rubbang Arung Pattiro. La Tenri Gera’ To Tenri Saga MacellaE
Weluwa’na menjadi Arung Timpa. Inilah yang kemudian kawin dengan We
Tenri Sumpala Arung Mampu, anak dari La Potto To Sawedi Arung Mampu
Riaja dengan isterinya We Cikodo Datu Bunne. Dari perkawinan ini
lahirlah We Mappewali I Damalaka. Inilah yang kawin dengan anak
sepupunya yang bernama La Gome To Saliwu Riwawo, lahirlah La Saliwu
Arung Palakka dan juga maddanreng (menetap) di Mampu. La Saliwu kemudian
kawin dengan MassalassaE ri Palakka yang bernama We Lempe, lahirlah La
Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng.
Selanjutnya
La Tenri Sukki melahirkan La Tadampare (meninggal dimasa kecil).
Berikutnya We Tenri Sumange I Da Tenri Wewang kawin dengan La Tenri
Giling Arung Pattiro MaggadingE anak dari La Settia Arung Pattiro dengan
isterinya We Tenri Bali. Lahirlah We Tenri Wewang DenraE yang kemudian
kawin dengan sepupunya La Uliyo Bote’E.
Anak
berikutnya adalah We Tenri Talunru I Da Tenri Palesse. Kemudian We
Tenri Gella kawin dengan La Malesse Opu Daleng Arung Kung. Lahirlah We
Tenri Gau yang kemudian kawin dengan La Uliyo Bote’E, lahirlah We
Temmarowe Arung Kung. Inilah yang kawin dengan La Polo Kallong anak La
Pattanempunga, turunan ManurungE ri Batulappa
La Tenri Sukki (1516 – 1543)
Juni 30, 2008 — tomanurung
Inilah Mangkau’ di Bone yang diserang oleh Datu Luwu yang bernama Dewa Raja yang digelar Batara Lattu. Mula-mula orang Luwu mendarat di Cellu dan disitulah membuat pertahanan. Sementara orang Bone berkedudukan di Biru-biru.
Adapun
taktik yang dilakukan oleh orang Bone adalah memancing orang Luwu
dengan beberapa perempuan. Pancingan ini berhasil mengelabui orang Luwu
sehingga pada saat perang berlangsung orang Luwu yang pada mulanya
menyangka tidak ada laki-laki, bersemangat menghadapi
perempuan-perempuan tersebut. Namun dari belakang muncul laki-laki
dengan jumlah yang amat banyak, sehingga orang Luwu berlarian ke pantai
untuk naik ke perahunya. Dalam perang itu orang Bone berhasil merampas
bendera orang Luwu.
Setelah perang selesai, Arumpone dan Datu Luwu mengadakan pertemuan. Arumpone mengembalikan payung warna merah itu kepada Datu Luwu, tetapi Datu Luwu mengatakan,
Setelah perang selesai, Arumpone dan Datu Luwu mengadakan pertemuan. Arumpone mengembalikan payung warna merah itu kepada Datu Luwu, tetapi Datu Luwu mengatakan,
”Ambillah
itu payung sebab memang engkaulah yang dikehendaki oleh DewataE (Tuhan)
untuk bernaung di bawahnya. Walaupun bukan karena perang engkau ambil,
saya akan tetap berikan. Apalagi saya memang memiliki dua payung”.
Mulai dari peristiwa itu , La Tenri Sukki digelar Mappajung-E (memakai payung). Selanjutnya La Tenri Sukki mengadakan lagi pertemuan dengan Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja dan lahirlah suatu perjanjian yang bernama, Polo MalelaE ri Unynyi (gencatan senjata di Unynyi). Dalam perjanjian ini Arumpone La Tenri Sukki berkata kepada Datu Luwu,
La Uliyo Bote’E (1543 – 1568)
Juni 30, 2008 — tomanurung
La
Uliyo Bote’E menggantikan ayahnya La Tenri Sukki sebagai Mangkau’ di
Bone. Digelar Bote’E karena dia memiliki postur tubuh yang subur
(gempal). Konon sewaktu masih kanak-kanak ia sudah kelihatan besar dan
kalau diusung, pengusung lebih dari tujuh orang.
La
Uliyo dikenal suka menyabung ayam, kawin dengan We Tenri Wewang DenraE
anak Arung Pattiro MaggadingE dengan isterinya We Tenri Sumange’.
Arumpone
inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong. Dia pulalah yang
mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng
Matanre. Dalam perjanjian tersebut dijelaskan Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni di Tamalate,
”Kalau
ada kesulitan Bone, maka laut akan berdaun untuk dilalui oleh orang
Mangkasar. Kalau ada kesulitan orang Gowa, maka gundullah gunung untuk
dilalui orang Bone. Tidak saling mencurigai, tidak saling bermusuhan
Bone dengan Gowa, saling menerima dan saling memberi, siapa yang
memimpin Gowa, dialah yang melanjutkan perjanjian ini, siapa yang
memimpin Bone dialah yang melanjutkan perjanjian ini sampai kepada anak
cucunya. Barang siapa yang mengingkari perjanjian ini, pecahlah periuk
nasinya – seperti pecahnya telur yang jatuh ke batu”.
Arumpone
inilah yang mengalahkan Datu Luwu yang tinggal di Cenrana. Pada masa
pemerintahannya pulalah Bone mulai dikuasai oleh Gowa. Dalam lontara’
dijelaskan bahwa KaraengE ri Gowa duduk bersama Arumpone di sebelah
selatan Laccokkong.
Pada
saat itu antara orang Bone dengan orang Gowa saling membunuh. Kalau
orang Gowa yang membunuh, maka Arumpone yang mengurus jenazahnya. Begitu
pula kalau orang Bone yang membunuh, maka KaraengE ri Gowa yang
mengurus jenazahnya. Arumpone ini pula yang menemani KaraengE ri Gowa
pergi meminta persembahan orang Wajo di Topaceddo.
Setelah
genap 25 tahun menjadi Mangkau’ di Bone, dikumpulkanlah seluruh orang
Bone. Setelah semuanya berkumpul, disampaikanlah bahwa,
”Saya akan menyerahkan Akkarungeng ini kepada anakku yang bernama La Tenri Rawe”.
Mendengar
pernyataan Arumpone tersebut, seluruh orang Bone setuju. Maka
dilantiklah anaknya menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung
meriah selama tujuh hari tujuh malam.
Karena
kedudukannya sebagai Arumpone telah diserahkan kepada anaknya, maka La
Uliyo Bote’E hanya bolak balik antara isterinya di Bone dengan isterinya
di Mampu.
La
Uliyo Bote’E pernah memarahi kemenakannya yang bernama La Paunru dengan
sepupunya yang menjadi Arung Paccing yang bernama La Mulia. Keduanya
pergi meminta bantuan kepada Kajao Laliddong agar diminta maafkan.
Tetapi sebelum rencana itu terlaksana, La Uliyo Bote’E pergi ke Mampu
untuk menyabung ayam. Tiba-tiba ia melihat kemenakannya dan sepupunya
membuat hatinya semakin dongkol. Ia pun segera kembali ke Bone.
La
Paunru dan La Mulia berpendapat lebih baik kita menyerahkan diri kepada
Kajao Laliddong di Bone untuk selanjutnya diminta maafkan kepada
Bote’E. Makanya setelah Bote’E meninggalkan Mampu, keduanya mengikut
dari belakang.
Setelah
sampai di Itterung, La Uliyo Bote’E menoleh ke belakang, dilihatnya La
Paunru bersama La Mulia berjalan mengikutinya. Karena disangkanya La
Paunru dan La Mulia berniat jahat terhadapnya, maka ia pun berbalik
menyerangnya. La Paunru dan La Mulia walaupun tidak bermaksud melawan,
namun karena terdesak oleh serangan La Uliyo akhirnya keduanya terpaksa
melawan. Dalam perkelahian tersebut, baik La Paunru maupun La Uliyo
tewas di tempat, sedangkan La Mulia dibunuh oleh orang yang datang
membantu La Uliyo.Sejak itu, digelarlah La Uliyo Bote’E MatinroE ri
Itterung.
Sesudah
We Balole adalah Sangkuru’ Dajeng Petta BattowaE Massao LampeE ri
Majang. Dia digelar pula sebagai Arung Kung, tidak disebutkan
keturunannya dalam lontara’.
La Tenri Rawe Bongkang-E (1568–1584)
Juni 30, 2008 — tomanurung
La
Tenri Rawe BongkangE menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E menjadi
Arumpone. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung
MaccimpoE anak dari La Maddussila dengan isterinya We Tenri Lekke.
La
Tenri Rawe dengan isterinya Arung Timurung melahirkan anak yang bernama
; La Maggalatung, inilah yang dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota
menggantikan ayahnya sebagai Arumpone, dia meninggal dunia semasa kecil.
Yang kedua bernama ; La Tenri Sompa dipersiapkan untuk menjadi Arung
Timurung, tetapi juga meninggal karena dibunuh oleh orang yang bernama
Dangkali.
Ketika
menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Rawe sangat dicintai oleh orang
banyak karena memiliki sifat-sifat seperti ; berbudi pekerti yang baik,
jujur, dermawan, adil dan sangat bijaksana. Dia tidak membedakan antara
keluarganya yang memiliki turunan bangsawan dengan keluarganya dari
orang biasa.
Sebagai Arumpone, La Tenri Rawe yang pertamalah membagi tugas-tugas (makkajennangeng) seperti: yang bertugas mengurus jowa (pengawal), yang bertugas mengurus anak bangsawan dan yang mengurus wanuwa.
Pada masa pemerintahannya pernah dikunjungi oleh KaraengE ri Gowa masuk ke Bone untuk menyabung ayam. Dalam pertarungan itu, ayam KaraengE ri Gowa terbunuh oleh ayam Arumpone dengan taruhan seratus kati. Pada masa pemerintahannya pula seluruh orang Ajangale’ datang menggabungkan diri di Bone. Ditaklukkanlah Awo Teko, Attassalo dan lain-lain.
Sebagai Arumpone, La Tenri Rawe yang pertamalah membagi tugas-tugas (makkajennangeng) seperti: yang bertugas mengurus jowa (pengawal), yang bertugas mengurus anak bangsawan dan yang mengurus wanuwa.
Pada masa pemerintahannya pernah dikunjungi oleh KaraengE ri Gowa masuk ke Bone untuk menyabung ayam. Dalam pertarungan itu, ayam KaraengE ri Gowa terbunuh oleh ayam Arumpone dengan taruhan seratus kati. Pada masa pemerintahannya pula seluruh orang Ajangale’ datang menggabungkan diri di Bone. Ditaklukkanlah Awo Teko, Attassalo dan lain-lain.
TellumpoccoE
juga datang menggabungkan Babanna Gowa di Bone dan diterima kemudian
didudukkanlah sebagai daerah bawahan dari Bone. Hal ini membuat KaraengE
ri Gowa marah dan menyusul masuk ke Bone. Bertemulah orang Gowa dengan
orang Bone di sebelah selatan Mare dan berperang selama tujuh hari tujuh
malam, baru berdamai. Jelaslah kekuasaan orang Bone pada bahagian
selatan Sungai Tangka ke atas.
Datu
Soppeng Rilau yang diturunkan dari tahtanya datang ke Bone untuk minta
perlindungan. Karena Datu Soppeng Rilau yang bernama La Makkarodda To
Tenri Bali MabbeluwaE merasa terdesak. Tidak lama setelah berada di
Bone, ia pun kawin dengan saudara Arumpone yang bernama We Tenri
Pakkuwa. Dari perkawinannya itu lahir anak perempuan , We Dangke atau We
Basi LebaE ri Mario Riwawo.
Saudara
Arumpone yang bernama We Lempe kawin dengan sepupu dua kalinya yang
bernama La Saliwu Arung Palakka. Dari perkawinannya itu melahirkan anak ;
La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng kawin dengan sepupu satu kalinya
yang bernama We Dangke. La Tenri Ruwa adalah nenek MatinroE ri Bontoala.
Suatu
saat, Bone didatangi oleh Gowa dan terjadilah perang di Cellu. Perang
berlangsung selama lima hari lima malam dan orang Gowa mundur. Dua tahun
kemudian datang KaraengE ri Gowa untuk menyerang lagi. Kali ini perang
berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Orang Gowa mengambil tempat
pertahanan di Walenna, tetapi KaraengE ri Gowa tiba-tiba terserang
penyakit, maka ia harus kembali ke kampungnya. Konon, ketika sampai di
Gowa ia pun meninggal dunia.
Hanya
kurang lebih dua bulan kemudian, datang lagi KaraengE ri Gowa yang
bernama Daeng Parukka yang menggantikan ayahnya untuk kembali menyerang
Bone. Mendengar bahwa Gowa kembali, maka seluruh orang Ajangale’ dan
orang Timurung datang membantu Bone. Adapun Limampanuwa Rilau Ale’
berkedudukan di Cinennung.
Sementara
orang Awampone berkedudukan di Pappolo berdekatan dengan benteng
pertahanan KaraengE ri Gowa. Terjadilah perang yang sangat dahsyat.
Orang Gowa menyerbu ke arah selatan, membakar Kampung Bukaka dan Takke
Ujung. Akhirnya Karaeng Gowa tewas terbunuh.
La Inca (1584–1595)
Menggantikan saudaranya La Tenri Rawe sebagai Arumpone. Kedudukan ini memang telah diserahkan ketika La Tenri Rawe masih hidup. Bahkan La Tenri Rawe berpesan kepadanya agar nanti kalau sampai ajalnya, La Inca dapat mengawini iparnya (isteri La tenri Rawe) yaituWe Tenri Pakiu Arung Timurung.
Setelah menjadi Mangkau’, KaraengE ri Gowa datang untuk menyerang Bone. Ternyata La Inca tidak
mewarisi kepemimpinan yang telah dilakukan oleh saudaranya. Banyak
langkah-langkahnya yang sangat merugikan orang banyak. Para Arung Lili dimarahi dan dihukumnya. Salah seorang Arung Lili yang bernama La Patiwongi To Pawawoi diasingkan ke Sidenreng. Karena sudah terlalu lama berada di Sidenreng, maka ia pun kembali ke Bone untuk minta maaf.
Namun apa yang dialami setelah kembali ke Bone, dia malah diusir dan dibunuh. Arung Paccing dan cucunya yang bernama La Saliwu,Maddanreng Palakka yang bernama To Saliwu Riwawo serta masih banyak lagi bangsawan Bone yang dibunuhnya.
Pada
suatu hari dia melakukan tindakan yang sangat memalukan yaitu
mengganggu isteri orang. Karena didapati oleh suaminya, ia lantas
mengancam orang tersebut akan dibunuhnya, sehingga orang tersebut
melarikan diri. Untuk menutupi kesalahannya, isteri orang tersebut yang
dibunuh. Ia pun membakar sebahagian Bone sampai di Matajang dan Macege.
Orang Bone pun mengungsi sampai ke Majang.
Melihat orang Bone pada datang, Arung Majang bertanya,
Melihat orang Bone pada datang, Arung Majang bertanya,
”Kami tidak bisa mengatakan apa-apa, Puang. Silahkan Puang melihat sendiri bagaimana Bone sekarang”.
Mendengar laporan orang Bone, Arung Majang keluar melihat ke arah Bone. Disaksikannyalah api yang melalap rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh La Inca. Arung Majang lalu menyuruh beberapa orang untuk pergi ke Palakka memanggil I Damalaka. Tidak lama kemudian I Damalaka tiba di Majang. Sesampainya di rumah Arung Majang ia pun disuruh untuk ke Bone menghadapi La Inca.
I Damalaka menyuruh
salah seorang untuk pergi menemui Arumpone dan menyampaikan agar
tindakannya itu dihentikan. Akan tetapi setelah orang itu tiba di depan La Inca, ia pun dibunuh. Setelah itu, La Inca lalu membakar semua rumah yang ada di Lalebbata. Maka habislah rumah di Bone.
Mendengar itu, Arung Majang pergi ke Bone disusul oleh I Damalaka untuk menghadapi La Inca yang tidak lain adalah cucunya sendiri.
“Mari kita menghadapi La Inca, dia bukan lagi sebagai Arumpone karena telah melakukan pengrusakan”.
Berangkatlah semua orang mengikuti Arung Majang termasuk I Damalaka. Didapatinya La Inca sendirian di depan rumahnya. Setelah melihat orang banyak datang, La Inca lalu menyerbu dan menyerang membabi buta. Banyak orang yang dibunuhnya pada saat itu dan kurang yang mampu bertahan, akhirnya La Inca kehabisan
tenaga. Karena merasa sangat payah, ia pun melangkah menuju tangga
rumahnya. Ia bersandar dengan nafas yang terputus-putus.
Melihat cucunya sekarat, Arung Majang berlari mendekati dan memangku kepalanya. La Inca pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Oleh karena itu disebutlah MatinroE ri Addenenna (meninggal di tangga rumahnya).
Adapun anak La Inca MatinroE ri Addenenna dari isterinya We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE adalah La Tenri Pale To Akkeppeang kawin dengan kemenakannya yang bernama We Palettei KanuwangE anak dari We Tenri Patuppu dengan suaminya To Addussila. Kemudian La Tenri Pale kawin lagi dengan We Cuku anak Datu Ulaweng. Dari perkawinan ini lahirlah We Pakkawe kemudian melahirkan We Panynyiwi Arung Mare.
We Panynyiwi kawin dengan pamannya sepupu dari ibunya MatinroE ri Bukaka. Dari perkawinan ini lahirlah We Daompo yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. Lahirlah La Tenri Lejja. Inilah yang melahirkan La Sibengngareng yang kemudian menjadi Maddanreng di Bone.
We Panynyiwi kawin dengan pamannya sepupu dari ibunya MatinroE ri Bukaka. Dari perkawinan ini lahirlah We Daompo yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. Lahirlah La Tenri Lejja. Inilah yang melahirkan La Sibengngareng yang kemudian menjadi Maddanreng di Bone.
Anak La Inca berikutnya adalah We Tenri Sello MakkalaruE kawin dengan kemenakannya yang bernama La Pancai To Patakka Lampe Pabbekkeng, anak dari We Tenri Pala dengan suaminya To Alaungeng Arung Sumaling. Lahirlah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka, kemudian lahir pula La Tenri Aji MatinroE ri Siang. Selanjutnya lahir We Tenri Ampa Arung Cellu yang kawin dengan To MannippiE Arung Salangketo yang kemudian melahirkan We Tenri Talunru.
La Pattawe (1595–1602
Menggantikan sepupunya La Inca sebagai Mangkau’ di Bone. Dikumpulkanlah seluruh orang Bone oleh Arung Majang -dikenal sebagai Petti Majang. Kepada orang banyak, Arung Majang berkata,
“Inilah cucuku yang bernama La Pattawe yang kita sepakati menggantikan sepupunya”.
La Pattawe adalah anak La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna saudara kandung La Tenri Sukki MappajungE dari isterinya We Tenri Esa’ Arung Kaju. La Pattawe adalah anak Arung Palakka turunan We Benri Gau MakkaleppiE, Arung Majang. Orang Bone sepakat untuk mengangkat La Pattawe menjadi Mangkau’ di Bone.
La Pattawe Daeng Soreang kawin dengan We Balole I Dapalippu Arung Mampu MassalassaE ri Kaju anak dari La Uliyo Bote-E, MatinroE ri Itterung dari isterinya We Tenri Gau Arung Mampu yang selanjutnya melahirkan We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. We Tenri Patuppu melahirkan We Tenri Pateya I Dajai yang kawin dengan La Pangerang Arung Maroanging. Selanjutnya La Pattawe kawin dengan We Samakella Datu Ulaweng saudara We Tenri Pakiu Arung Timurung, lahirlah We Parappu Datu Ulaweng. Inilah yang kawin dengan La Papesa Datu Sailong anak dari La Tenri Adeng Datu Sailong saudara laki-laki We Tenri Pakiu Arung Timurung.
La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng kawin dengan sepupunya yang bernama We Baji yang biasa juga dinamakan We Dangke LebaE ri Mario Riwawo. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenri Sui Datu Mario Riwawo. Inilah yang melahirkan La Tenri Tatta Petta To RisompaE dan nenek MatinroE ri Nagauleng. La Pattawe,
tidak terlalu banyak disebut langkah-langkahnya dalam pemerintahannya.
Hanya dikatakan bahwa setelah tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone, ia
pergi ke Bulukumba dan di situlah dia sakit. Dia meninggal diBettung sehingga disebut MatinroE ri Bettung.
We Tenri Patuppu (1602–1611)
We Tenri Patuppu menggantikan ayahnya menjadi Arumpone. Inilah Mangkau’ yang mula-mula mengangkat Arung Pitu (tujuh pemegang adat) di Bone. Ketujuh Matowa (Kepala Wanuwa) yang ditunjuk, adalah, Matowa Tibojong (Arung Tibojong), Matowa Ta’ (Arung Ta’), Matowa Tanete (Arung Tanete), Tanete dipecah menjadi Tanete Riattang dan Tanete Riawang, Matowa Macege (Arung Macege), Matowa Ujung (Arung Ujung) dan Matowa Ponceng (Arung Ponceng).
We Tenri Patuppu berkata kepada Arung PituE,
”Saya
mengangkat kalian sebagai Arung Pitu untuk membantu saya dalam
menyelenggarakan pemerintahan di Bone. Hal ini saya lakukan karena saya
adalah seorang perempuan yang tentunya memerlukan bantuan. Namun perlu
kalian tahu bahwa saya mengangkatmu menjadi pemegang adat, tetapi kalian
tetap ; tidak bisa melangkahi adat Bone, tidak bisa menyatakan perang,
tidak bisa mewariskan kepada anak cucu, kalau saya tidak mengetahuinya.
Kacuali apabila duduk semua turunan MappajungE kemudian direstui oleh
Mangkau’ Bone”.
Pada
masa pemerintahan We Tenri Patuppu di Bone, KaraengE ri Gowa datang ke
Ajattappareng membawa agama Islam. Sepakatlah TellumpoccoE (Bone,
Soppeng dan Wajo) untuk menghalangi, sehingga KaraengE ri Gowa kembali
ke kampungnya. Satu tahun kemudian datang lagi KaraengE ri Gowa ke
Padangpadang, dihalangi lagi oleh TellumpoccoE. Bertemulah di sebelah
timur Bulu’ Sitoppo dan terjadilah perang yang berakhir dengan kekalahan
TellumpoccoE. Tahun berikutnya, datang lagi KaraengE ri gowa ke
Soppeng. Tetapi tidak ada lagi bantuan dari Bone dan Wajo, sehingga
Soppeng dikalahkan dan masuklah agama Islam di Soppeng. Datu Soppeng
yang menerima Islam bernama BeowE.
Setelah
Soppeng menerima Islam, datang KaraengE ri Gowa ke Wajo dan kalahlah
orang Wajo. Arung Matowa Wajo yang bernama La Sangkuru yang menerima
Islam di Wajo. Sejak itu seluruh orang Wajo memeluk Islam.
Tahun berikutnya setelah orang Wajo masuk Islam, Arumpone We Tenri Patuppu pergi ke Sidenreng untuk menanyakan tentang Islam. Ternyata begitu sampai di Sidenreng langsung masuk Islam. Di Sidenrenglah beliau sakit yang menyebabkan meninggal dunia. Oleh karena itu dinamakanlah We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng.
Tahun berikutnya setelah orang Wajo masuk Islam, Arumpone We Tenri Patuppu pergi ke Sidenreng untuk menanyakan tentang Islam. Ternyata begitu sampai di Sidenreng langsung masuk Islam. Di Sidenrenglah beliau sakit yang menyebabkan meninggal dunia. Oleh karena itu dinamakanlah We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng.
Semasa
hidupnya We Tenri Patuppu kawin dengan La Paddippung Arung Barebbo,
kemudian melahirkan anak bernama La Pasoro. Inilah yang kawin dengan We
Tasi, lahirlah La Toge MatinroE ri KabuttuE. La Toge kawin dengan We
Passao Ribulu, lahirlah We Kalepu yang kawin dengan Daeng Manessa Arung
Kading.
Kemudian We Tenri Patuppu bercerai dengan Arung Barebbo, maka kawin lagi dengan To LewoE Arung Sijelling, anak Arung Mampu Riawa. Dari perkawinan ini lahirlah anaknya yang bernama La Maddussila, We Tenri Tana, We Palettei, La Palowe. La Maddussila Arung Mampu yang juga digelar MammesampatuE (memakai nisan batu). Pergi ke Soppeng dan kawin dengan We Tenri Gella, saudara Datu Soppeng yang bernama BeowE. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Bali yang kawin di Bone dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo.
Kemudian We Tenri Patuppu bercerai dengan Arung Barebbo, maka kawin lagi dengan To LewoE Arung Sijelling, anak Arung Mampu Riawa. Dari perkawinan ini lahirlah anaknya yang bernama La Maddussila, We Tenri Tana, We Palettei, La Palowe. La Maddussila Arung Mampu yang juga digelar MammesampatuE (memakai nisan batu). Pergi ke Soppeng dan kawin dengan We Tenri Gella, saudara Datu Soppeng yang bernama BeowE. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Bali yang kawin di Bone dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo.
We
Bubungeng dan La Tenri Bali melahirkan anak ; La Tenri Senge’ Toasa,
inilah yang kemudian menjadi Datu Soppeng. Yang kedua bernama We Yadda
MatinroE ri Madello, kemudian menjadi Datu juga di Soppeng.
We Tenri Tana Arung Mampu Riawa kawin dengan LebbiE ri Kaju. Inilah yang melahirkan We Tenri Sengngeng yang kawin dengan La Poledatu Rijeppo saudara Datu Soppeng anak La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE dengan isterinya We Tenri Gella. Inilah yang melahirkan La PatotongE, La PasalappoE, La Pariusi Daeng Mangatta. La Pariusi Daeng Mangatta inilah yang menggantikan Petta I Tenro menjadi Arung Mampu Riawa yang juga pernah menjadi Arung Matowa Wajo.
We Tenri Tana Arung Mampu Riawa kawin dengan LebbiE ri Kaju. Inilah yang melahirkan We Tenri Sengngeng yang kawin dengan La Poledatu Rijeppo saudara Datu Soppeng anak La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE dengan isterinya We Tenri Gella. Inilah yang melahirkan La PatotongE, La PasalappoE, La Pariusi Daeng Mangatta. La Pariusi Daeng Mangatta inilah yang menggantikan Petta I Tenro menjadi Arung Mampu Riawa yang juga pernah menjadi Arung Matowa Wajo.
La
PallempaE atau La Pasompereng Petta I Teko kawin dengan KaraengE ri
Gowa. Dari perkawinannya lahirlah We Yama dan We Alima. We Alima kawin
dengan KaraengE ri Gowa Tumenanga ri Pasi. Lahirlah I Baba Karaeng
Tallo. La Pasompereng diasingkan oleh Kompeni sebab perselingkuhan
isterinya dengan Sule DatuE di Soppeng yang bernama Daeng Mabbani. Dia
membunuh Sule datuE di Soppeng maka diasingkanlah ke Selong.
Anak
terakhir dari We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng adalah ; We
Palettei KanuwangE, kawin dengan pamannya La Tenri Pale To Akkeppeang
MatinroE ri Tallo. Tidak ada keturunannya, sehingga MatinroE ri Tallo
kawin lagi dengan anak Datu Ulaweng.
La Tenri Ruwa Arung Palakka (1611–3 bln)
Juni 30, 2008 — tomanurung
La Tenri Ruwa Arung Palakka juga sebagai Arung Pattiro adalah sepupu We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. Ketika Arumpone meninggal dunia, orang Bone sepakat untuk mengangkat La Tenri Ruwa menjadi Mangkau’ di Bone.
Belum
cukup tiga bulan setelah menjadi Mangkau’, datanglah KaraengE ri Gowa
membawa agama Islam ke Bone. Orang Gowa membuat benteng di Cellu dan
Palette. Berkatalah Arumpone kepada orang Bone,
”Kalian
telah mengangkat saya menjadi Mangkau’ untuk membawa Bone kepada jalan
yang baik. KaraengE ri Gowa datang membawa agama Islam yang menurutnya
adalah kebaikan. Sesuai dengan perjanjian kita yang lalu, siapa yang
mendapatkan kebaikan, dialah yang menunjukkan jalan. Oleh karena itu
saya mengajak kalian untuk menerima Islam”.
KaraengE ri Gowa berkata,
”Menurutku
Islam adalah kebaikan dan dapat mendatangkan cahaya terang bagi kita.
Oleh karena itu saya berpegang pada agama Nabi. Kalau engkau menerima
pendapatku, maka Bone dan Gowa akan menjadi besar untuk bersembah kepada
Dewata SeuwaE (Allah SWT)”.
Berkata
lagi Arumpone kepada orang banyak ; ’Kalau kalian tidak menerima baik
maksud KaraengE padahal dia benar, dia pasti masih memerangi kita dan
kalau kita kalah berarti kita menjadi hamba namanya. Tetapi kalau kalian
menerima dengan baik, kita dijanji untuk berdamai. Kalau kita melawan,
itu adalah wajar. Jangan kalian menyangka bahwa saya tidak mampu untuk
melawannya”.
Ketika
itu semua orang Bone menolak Islam. Arumpone La Tenri Ruwa hanya diam,
karena dia sudah tahu bahwa orang Bone berpendapat lain. Pergilah
Arumpone ke Pattiro dan hanya diikuti oleh keluarga dekatnya.
Sesampainya di Pattiro, ia mengajak lagi orang Pattiro untuk menerima
agama Islam. Ternyata orang Pattiro juga menolak.
Akhirnya
Arumpone naik ke SalassaE (istana) bersama keluarga dan hambanya.
Ketika Arumpone ke Pattiro, orang Bone sepakat untuk menjatuhkan La
Tenri Ruwa sebagai Arumpone. Diutuslah La Mallalengeng To Alaungeng ke
Pattiro untuk menemui Arumpone. Kepada Arumpone La Mallalengeng
menyampaikan ; ”Saya disuruh oleh orang Bone untuk menyampaikan bahwa
bukan lagi orang Bone yang menolak engkau sebagai Mangkau’, tetapi
engkau sendiri yang menolak kami semua, karena pada saat Bone menghadapi
musuh besar, engkau lalu meninggalkannya”.
Arumpone
menjawab ; Saya menyangkal bahwa saya meninggalkan orang Bone, saya
hanya menunjukkan jalan kebaikan dan cahaya yang terang. Tetapi kalian
tidak mau mengikutinya dan lebih suka memilih jalan kegelapan. Makanya
saya pergi meilih jalan kebaikan dan cahaya yang terang itu yang
diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya”.
Kemudian
KaraengE ri Gowa, Karaeng Tallo dan Arumpone berikrar ; Pertama
diucapkan oleh KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo ; ” Inilah yang akan
dipersaksikan kepada Dewata SeuwaE bahwa bukanlah turunan KaraengE ri
Gowa dan Karaeng Tallo yang kelak akan mengganggu hak-hakmu. Kalau ada
kesulitan yang engkau hadapi, bukalah pintumu untuk kami masuk pada
kesulitan itu”. Lalu Arumpone menjawab ; ”Wahai Karaeng, ikat padiku
tidak akan terbuka, tidak sempurna pula kehidupanku dan apa yang ada
dalam pikiranku. Kalau ada kesulitan yang menimpa Tanah Gowa, biar
sebatang bambu yang dibentangkan, kami akan melaluinya untuk datang
membantumu sampai kepada anak cucumu dan anak cucuku, asalkan tidak
melupakan perjanjian ini”.
Setelah
ketiganya mengucapkan ikrar, kembalilah Arumpone La Tenri Ruwa ke
Pattiro. Lima hari setelah perjanjian itu diucapkan bersama, dibakarlah
Bone oleh orang Gowa. Menyerahlah orang-orang Bone dan mengucapkan
syahadat. Kemudian KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo kembali ke
negerinya.
Sejak
La Tenri Ruwa meninggalkan Bone dan berada di Pattiro, sejak itu pula
orang Bone menganggapnya bahwa dia bukan lagi Mangkau’ di Bone.
Kesepakatan orang Bone adalah mengangkat anak dari MatinroE ri Sapananna
(addenenna) yang pada saat itu menjadi Arung Timurung yang bernama La
Tenri Pale To Akkeppeang. Adapun La Tenri Ruwa setelah KaraengE ri Gowa
dan Karaeng Tallo kembali ke negerinya, diusir oleh orang Bone agar
meninggalkan Bone. Arumpone inilah yang dianggap mula-mula menerima
agama Islam dari KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo.
La Tenri Pale To Akkepeang (1611 – 1625)
Juni 30, 2008 — tomanurung
Ketika La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng diusir oleh orang Bone, maka yang menggantikannya adalah sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung. Dia adalah anak dari La Inca atinroE ri Addenenna.
Inilah
Mangkau’ di Bone yang membangkitkan kembali semangat orang Bone untuk
menolak masuknya agama Islam di Bone. Oleh karena itu KaraengE kembali
memerangi Bone, sehingga orang Bone kalah dan menyerah. Diundanglah
seluruh Palili (daerah bawahan) untuk disuruh mengucapkan syahadat
sebagai tanda bahwa seluruh orang Bone telah menerima agama Islam.
Setelah itu KaraengE ri Gowa kembali ke kampungnya.
La Tenri Pale To Akkeppeang dua bersaudara yaitu We Tenri Jello MakkalaruE, kawin dengan Arung Sumaling yang bernama La Pancai To Patakka. Dia juga digelar Lampe Pabbekkeng, anak dari La Mallalengeng To Alaungeng Arung Sumaling, dari isterinya yang bernama We Tenri Parola. Lahirlah La Maddaremmeng, diangkatlah MakkalaruE menjadi Arung Pattiro.
Satu lagi adik La Maddaremmeng bernama We Tenri Ampareng, dia menjadi Arung Cellu. Sedangkan La Tenri Aji To Senrima dia menjadi Arung di Awampone dan digelar MatinroE ri Siang.
We Tenri Sui kawin dengan La Pottobune’ TobaE Arung Tanatengnga, lahirlah La Tenri Tatta To Unru -tidak ada keturunannya. Anaknya yang kedua yaitu I Daunru. Inilah yang kawin dengan Datu Citta yang bernama Todani yang menjadi Arung EppaE Ajattappareng yaitu ; Addatuang Sidenreng, Datu Suppa, Addattuang Sawitto dan Arung Alitta. Bahkan dia juga Karaeng di Galingkang.
Ketika Todani memperisterikan saudara La Tenri Tatta, dia mempersatukan Citta dengan Bone. Nanti setelah La Temmassonge’ To Appaweling MatinroE ri Malimongeng menjadi Mangkau’ di Bone, barulah Citta dikembalikan ke Soppeng. Namun akhirnya Todani disuruh bunuh oleh La Tenri Tatta To Unru karena dianggap menyalahi kasiwiang (persembahan) di Bone.
Sedangkan saudara La Tenri Tatta To Unru yang bernama We Tenri Abang Daeba, dialah yang dinamakan We Tenri Wale MatinroE ri Bola Sadana. Digelar juga Mappolo BombangE dialah Maddanreng di Palakka.
Satu tahun setelah orang Bone menerima Islam, pergilah Arumpone ke Makassar menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Arab yaitu Sultan Abdullah. Itulah nama Arumpone yang dibaca pada khutbah Jumat.
Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Pale dikenal sangat ramah dan merakyat. Dia sangat memperhatikan masalah pertanian. Arumpone inilah yang kawin dengan anak MatinroE ri Sidenreng dari suaminya yang bernama To Addussila bernama We Palettei KanuwangE Massao BessiE ri Mampu Riawa. Dari perkawinan ini lahirlah anak perempuan yang bernama We Daba.
Selama menjadi Arumpone, La Tenri Pale selalu bolak balik ke Gowa untuk menemui KaraengE ri Gowa. Ia meninggal di Tallo sehingga digelar La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo.
La Maddaremmeng (1625–1640)
Juni 30, 2008 — tomanurung
La
Maddaremmeng menggantikan pamannya La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE
ri Tallo menjadi Arumpone. Ketika akan diangkat menjadi Mangkau’ di
Bone, La Tenri Pale dengan orang Bone berjanji bahwa:
La Tenri Pale,
”Siapa yang mengingkari janji, dialah yang menanggung resiko buruknya”
Orang Bone,
”Siapa yang berbuat kebaikan, dialah yang menerima imbalan kebaikan itu”
Setelah
saling mengiyakan kesepakatan itu, maka diangkatlah La Tenri Pale To
Akkeppeang Arung Timurung menjadi Mangkau’ di Bone. Setelah beberapa
waktu menjadi Arumpone, diadakanlah penggalian bendungan di sebelah
selatan Leppangeng. Selama tiga tahun digali, ternyata airnya tak bakal
naik. Dibawa lagi ke Sampano untuk membuat tiang rumah, tiba-tiba La
Tenri Pale kena penyakit. Kembalilah La Tenri Pale ke Bone.
Sesampainya
di Bone, diundanglah seluruh orang Mampu dan menyampaikan bahwa ;
Berangkatlah ke Sidenreng untuk memanggil keluargaku untuk datang
memiliki kembali miliknya. Kemudian La Tenri Pale berangkat ke Su
(Mangkasar). Di Mangkasar (Tallo) ia meninggal dunia sehingga dinamakan
MatinroE ri Tallo.
Ketika orang yang disuruh ke Sidenreng kembali, La Tenri Pale sudah tidak ada di Bone. Maka diangkatlah La Maddaremmeng sebagai Arumpone, sebab dialah yang dipesan oleh pamannya untuk menggantikannya bila sampai ajalnya. Arumpone inilah yang pertama membuat payung putih untuk dipakai bila bepergian.
Ketika orang yang disuruh ke Sidenreng kembali, La Tenri Pale sudah tidak ada di Bone. Maka diangkatlah La Maddaremmeng sebagai Arumpone, sebab dialah yang dipesan oleh pamannya untuk menggantikannya bila sampai ajalnya. Arumpone inilah yang pertama membuat payung putih untuk dipakai bila bepergian.
La
Maddaremmeng kawin di Wajo dengan perempuan yang bernama Hadijah I
Dasenrima anak dari Arung Matowa Wajo yang bernama La Pakallongi To Ali
dengan isterinya We Jai Ranreng Towa Wajo yang juga sebagai Arung Ugi.
Dari perkawinan La Maddaremmeng dengan We Jai, melahirkan seorang anak
laki-laki bernama La PakokoE Toangkone yang digelar TadampaliE. La
PakokoE Toangkone kemudian diangkat menjadi Arung Timurung.
La
PakokoE Toangkone kawin dengan saudara perempuan La Tenri Tatta To Unru
yang bernama We Tenri Wale Mappolo BombangE Maddanreng Palakka. Anak
dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La
Pottobune Arung Tanatengnga. Dari perkawinannya itu lahirlah La Patau
Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng.
Selanjutnya
La Maddaremmeng kawin lagi dengan Arung Manajeng. Dari perkawinannya
yang kedua itu lahirlah anak laki-laki yang bernama Toancalo Arung
Jaling. Inilah yang kawin dengan We Bunga Bau Arung Macege, anak dari
Karaeng Massepe dengan isterinya yang bernama We Impu Arung Maccero.
Toancalo Arung Jaling dengan We Bunga Bau Arung Macege yang melahirkan
Tobala Arung Tanete Riawang yang digelar Petta PakkanynyarangE.
Setelah
menjadi Mangkau’ di Bone selama kurang lebih 15 tahun, Gowa kembali
melakukan serangan terhadap Bone yang akhirnya menaklukkannya. La
Maddaremmeng meninggal dunia di Bukaka, sehingga dia dinamakan MatinroE
ri Bukaka.
Isteri
La Maddaremmeng yang lain bernama We Mappanyiwi Arung Mare, anak We
Cakka Datu Ulaweng. Melahirkan seorang anak perempuan yang bernama We
Daompo. Inilah yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. La Uncu Arung
Paijo dengan We Daompo melahirkan La Tenri Lejja RiwettaE ri
Pangkajenne. Inilah yang melahirkan To Sibengngareng Maddanreng Bone.
La Sekati Arung Amali (1660–1667)
Juni 30, 2008 — tomanurung
Setelah
Tobala meninggal dunia, KaraengE ri Gowa menunjuk lagi La Sekati Arung
Amali menjadi Jennang di Bone. Selama tujuh tahun La Sekati Arung Amali
menjadi Jennang di Bone, selama itu pula tindakan kesewenang-wenangan
orang Gowa terhadap orang Bone semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu
sebahagian besar sama Karaeng Bonto Marannu menyerang Butung. Dengan
pasukan yang lengkap dan siap berperang, berangkatlah ke Butung untuk
menghajarnya.
Sementara
itu, La Tenri Tatta Arung Palakka bersama seluruh pengikutnya dan
pasukan Kompeni Belanda telah berada dalam perjalanan menuju ke Tanah
Ugi. Dia akan langsung ke Butung untuk mengambil seluruh orang Bone dan
orang Soppeng yang mengungsi kesana akibat tindakan orang Gowa. Begitu
pula orang-orang Gowa yang lari kesana. Hal ini terjadi dalam tahun 1667
M.
Atas
kedatangan Arung Palakka Malampe’E Gemme’na, merupakan akhir
penderitaan orang Bone dari penjajahan Gowa. Sebelum Datu Luwu dan
Karaeng Bonto Marannu memulai serangannya terhadap Butung, datanglah
kapal Kompeni Belanda yang ditumpangi La Tenri Tatta Arung Palakka
bersama dengan pasukan Belanda. Dengan demikian rencana Datu Luwu dan
Karaeng Bonto Marannu untuk menyerang Butung terpaksa batal.
Admiral
Speelman selaku pimpinan pasukan Belanda bersama La Tenri Tatta Arung
Palakka mengutus beberapa orang untuk menemui Datu Luwu dan Karaeng
Bonto Marannu. Kepada utusan itu disuruh untuk menyampaikan kepada Datu
Luwu dan Karaeng Bonto Marannu bahwa janganlah Raja Butung yang
diserang, karena dia tidak bersalah. Tetapi kalau KaraengE ri Gowa
benar-benar mau berperang, maka sekarang lawannya sudah ada. Atau
alangkah baiknya kalau Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu turun ke
kapal sekarang juga dengan mengibarkan bendera putih untuk kita bicara
secara baik-baik.
Mendengar penyampaian Admiral Speelman dan La Tenri Tatta Arung Palakka Malampe’E Gemme’na, Datu Luwu minta pertimbangan kepada Karaeng Bonto Marannu. Setelah mempertimbangkan baik dan buruknya ajakan Admiral Speelman dan Arung Palakka, maka keduanya sepakat untuk turun ke kapal dengan mengibarkan bendera putih untuk menemuinya.
Kepada Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu La Tenri Tatta Arung Palakka berkata ; ”Saya tidak tahu perselisihan Luwu dengan Bone, saya juga tidak tahu apa perselisihan saya dengan Karaeng Bonto Marannu. Maka menurut pikiran saya, alangkah baiknya kalau Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu, bersama seluruh pasukannya kembali ke negerinya”. Setelah itu, dibawalah Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu bersama seluruh pasukannya ikut di kapal. Karena pada saat itu La Tenri Tatta Arung Palakka juga sudah akan menginjakkan kakinya di Tanah Ugi.
Diikutkanlah semua orang Bone , orang Soppeng dan orang Gowa yang ada di Butung. Adapun alat-alat perang orang Gowa dan pasukan Datu Luwu diserahkan kepada orang Bone.
Ketika KaraengE ri Gowa mengetahui bahwa Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu diikutkan di kapal Kompeni Belanda dan seluruh persenjataannya diserahkan kepada orang Bone, maka iapun berpikir bahwa kesepakatan antara Luwu dengan Gowa telah pecah. Oleh karena itu seluruh tawanannya dikembalikan ke negerinya, termasuk Arumpone dan Datu Soppeng La Tenri Bali.
Tanggal 21 November 1667 M. berperang habis-habisanlah La Tenri Tatta melawan Gowa. Bersama dengan Speelman menggempur KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin. Menyerahlah orang Gowa dan KaraengE ri Gowa pun tidak dapat berbuat banyak. La Tenri Tatta Arung Palakka berhasil menegakkan kembali kebesaran Bone, membebaskan orang Bone dari tindakan kesewenang-wenangan Gowa. Tercabutlah taring Gowa yang selama ratusan tahun menjadi kebanggaannya.
Ketika La Tenri Tatta Arung Palakka kembali ke Bone, ia lalu menemui Arumpone pamannya sendiri yang bernama La Maddaremmeng. Pamannya berkata ; ”Saya ini sudah sangat lemah, sehingga alangkah baiknya engkau memegang – akkarungeng (kerajaan) Bone. Karena memang warisanmulah dari MatinroE ri Bantaeng. Karena engkaulah sehingga Bone ini bangkit kembali, makanya tidak wajar untuk saya wariskan kepada anak cucuku yang lain, kecuali kepadamu”.
Arung Palakka menjawab ; ”Saya sangat menghargai kemuliaanmu, Puang. Saya juga menjunjung tinggi maksud baikmu itu, Puang. Tetapi menurutku nantilah api itu padam, baru kita ganti, nantilah tiang itu patah baru kita mencari yang lain”.
Oleh karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai akhir hayatnya. Akan tetapi pelaksanaan pemerintahan tetap dilakukan oleh La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na. Begitu juga arung-arung yang bekerja sama dengan Kompeni Belanda tidak bisa langsung bertemu dengan Gubernur Belanda tanpa meminta izin kepada Arung Palakka.
Mendengar penyampaian Admiral Speelman dan La Tenri Tatta Arung Palakka Malampe’E Gemme’na, Datu Luwu minta pertimbangan kepada Karaeng Bonto Marannu. Setelah mempertimbangkan baik dan buruknya ajakan Admiral Speelman dan Arung Palakka, maka keduanya sepakat untuk turun ke kapal dengan mengibarkan bendera putih untuk menemuinya.
Kepada Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu La Tenri Tatta Arung Palakka berkata ; ”Saya tidak tahu perselisihan Luwu dengan Bone, saya juga tidak tahu apa perselisihan saya dengan Karaeng Bonto Marannu. Maka menurut pikiran saya, alangkah baiknya kalau Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu, bersama seluruh pasukannya kembali ke negerinya”. Setelah itu, dibawalah Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu bersama seluruh pasukannya ikut di kapal. Karena pada saat itu La Tenri Tatta Arung Palakka juga sudah akan menginjakkan kakinya di Tanah Ugi.
Diikutkanlah semua orang Bone , orang Soppeng dan orang Gowa yang ada di Butung. Adapun alat-alat perang orang Gowa dan pasukan Datu Luwu diserahkan kepada orang Bone.
Ketika KaraengE ri Gowa mengetahui bahwa Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu diikutkan di kapal Kompeni Belanda dan seluruh persenjataannya diserahkan kepada orang Bone, maka iapun berpikir bahwa kesepakatan antara Luwu dengan Gowa telah pecah. Oleh karena itu seluruh tawanannya dikembalikan ke negerinya, termasuk Arumpone dan Datu Soppeng La Tenri Bali.
Tanggal 21 November 1667 M. berperang habis-habisanlah La Tenri Tatta melawan Gowa. Bersama dengan Speelman menggempur KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin. Menyerahlah orang Gowa dan KaraengE ri Gowa pun tidak dapat berbuat banyak. La Tenri Tatta Arung Palakka berhasil menegakkan kembali kebesaran Bone, membebaskan orang Bone dari tindakan kesewenang-wenangan Gowa. Tercabutlah taring Gowa yang selama ratusan tahun menjadi kebanggaannya.
Ketika La Tenri Tatta Arung Palakka kembali ke Bone, ia lalu menemui Arumpone pamannya sendiri yang bernama La Maddaremmeng. Pamannya berkata ; ”Saya ini sudah sangat lemah, sehingga alangkah baiknya engkau memegang – akkarungeng (kerajaan) Bone. Karena memang warisanmulah dari MatinroE ri Bantaeng. Karena engkaulah sehingga Bone ini bangkit kembali, makanya tidak wajar untuk saya wariskan kepada anak cucuku yang lain, kecuali kepadamu”.
Arung Palakka menjawab ; ”Saya sangat menghargai kemuliaanmu, Puang. Saya juga menjunjung tinggi maksud baikmu itu, Puang. Tetapi menurutku nantilah api itu padam, baru kita ganti, nantilah tiang itu patah baru kita mencari yang lain”.
Oleh karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai akhir hayatnya. Akan tetapi pelaksanaan pemerintahan tetap dilakukan oleh La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na. Begitu juga arung-arung yang bekerja sama dengan Kompeni Belanda tidak bisa langsung bertemu dengan Gubernur Belanda tanpa meminta izin kepada Arung Palakka.
La Tenri Tatta Arung Palakka (1667–1696)
Setelah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka meninggal dunia, maka digantikanlah oleh kemanakannya yang bernama La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE.
La Tenri Tatta To Unru adalah anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu dari We Tenri Sui adalah We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng. La Tenri Ruwalah
yang mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa yang juga
dianggap sebagai orang pertama menerima agama Islam di Celebes Selatan.
Karena pada waktu itu orang Bone menolak agama Islam, maka Arumpone La
Tenri Ruwa pergi ke Bantaeng dan disanalah ia meninggal dunia sehingga
dinamakan MatinroE ri Bantaeng.
Ketika
La Tenri Tatta To Unru baru berusia 11 tahun, Bone dibawah kepemimpinan
La Tenri Ruwa, Bone diserang dan dikalahkan oleh Gowa. Orang tuanya La
Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta
beberapa anak bangsawan Bone lainnya oleh KaraengE ri Gowa dalam
peristiwa yang disebut Beta Pasempe ( Kekalahan di Pasempe ). Pasempe
adalah sebuah kampung kecil yang dipilih oleh Arumpone La Tenri Ruwa
untuk melakukan perlawanan dan disitulah dia dikalahkan. Semua tawanan
Gowa termasuk orang tua La Tenri Tatta Arung Palakka dibawa ke Gowa.
La
Pottobune’ orang tua La Tenri Tatta sangat prihatin menyaksikan
penyiksaan itu, sehingga tidak dapat menahan perasaannya. Datu Lompulle
tidak mampu menahan emosinya dan pada saat itu juga ia mengamuk dengan
menggunakan tombak Karaeng Karunrung yang dibawanya. Setelah membunuh
banyak orang Gowa, barulah ia ditangkap dan disiksa seperti layaknya
pekerja parit yang melarikan diri tadi. Karena La Pottobune’ memiliki
ilmu kebal terhadap senjata tajam, maka nantilah dia meninggal dunia
setelah dimasukkan dalam lesung dan ditumbuk dengan alu.
Sejak
kejadian itu, La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang tidak bisa lagi
tidur. Setiap saat ia selalu berdoa kepada Dewata SeuwaE agar diberi
jalan yang lapang untuk kembali menegakkan kebesaran Tanah Bone.
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Sesampainya
di Bone La Tenri Tatta To Unru langsung menemui Jennang Tobala dan Datu
Soppeng yang bernama La Tenri Bali yang tidak lain adalah pamannya
sendiri. Datu Soppeng La Tenri Bali dengan Jennang Tobala memang telah
membuat suatu kesepakatan untuk membangkitkan kembali semangat orang
Bone melawan Gowa. Kesepakatan antara Jennang Tobala dengan Datu Soppeng
inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pincara LopiE ri Attapang.
Kepada
pamannya Datu Soppeng, La Tenri Tatta To Unru minta bekal untuk dipakai
dalam perjalanan, karena dia akan pergi jauh mencari teman yang bisa
diajak kerja sama melawan Gowa. Sebab menurut perkiraannya perjalanan
ini akan memakan waktu yang lama dan akan menelan banyak pengorbanan.
Tidak
berapa lama, datanglah orang Gowa dengan jumlah yang sangat besar
lengkap dengan persenjataan perangnya mencari jejaknya. Terjadilah
pertempuran yang sangat dahsyat antara La Tenri Tatta To Unru bersama
pasukannya melawan orang Gowa di Lamuru. Tetapi karena kekuatan Gowa
ternyata lebih kuat, akhirnya La Tenri Tatta To Unu bersama pasukannya
mundur kearah utara. Sementara orang Gowa yang merasa kehilangan jejak,
melanjutkan perjalanan ke Bone. Di Bone orang Gowa betempur lagi melawan
Tobala dengan pasukannya yang berakhir dengan tewasnya Jennang Tobala
Petta PakkanynyarangE.
Sementara
itu, berita tentang dikembalikannya La Maddaremmeng ke Bone dan La
Tenri Bali ke Soppeng oleh KaraengE ri Gowa dimana Bone dan Soppeng
didudukkan sebagai Palili (daerah bawahan), telah sampai kepada La Tenri
Tatta Arung Palakka. Lalu Arung Palakka mengirim utusan ke Bone dan
Soppeng agar Arumpone dan Datu Soppeng tetap mengangkat senjata untuk
melawan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin.
La
Tenri Tatta Arung Palakka bersama Cornelis Speelman dengan persenjatan
yang lengkap meninggalkan Butung menyusuri daerah-daerah pesisir yang
termasuk kekuasan KaraengE ri Gowa. Banyak daerah pesisir yang tadinya
berpihak kepada Gowa, berbalik dan menyatakan berpihak kepada La Tenri
Tatta Arung Palakka. Sementara melalui darat, Arung Bila, Arung pattojo,
Arung Belo dan Arung Ampana terus membangkitkan semangat orang Bone dan
orang Soppeng untuk berperang melawan Gowa. Beberapa daerah di Tanah
Pabbiring Barat berbalik pula melawan KaraengE ri Gowa.
Dengan
demikian keadaan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin sudah terkepung.
Kompeni Belanda dibawah komando Cornelis Speelman menghantam dari laut,
sementara Arung Palakka dengan seluruh pasukannya menghantam dari darat.
Semua arung yang tadinya membantu Gowa kembali berbalik menjadi lawan,
kecuali Wajo tetap membantu Gowa.
Karena
merasa sudah sangat terdesak dan pertempuran telah banyak memakan
korban dipihak Sultan Hasanuddin, maka pada hari Jumat tanggal 21
November 1667 M. KaraengE ri Gowa I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng
Bonto Mangape Sultan Hasanuddin bersedia mengakhiri perang. Kesediaannya
itu ditandai dengan suatu perjanjian yang bernama Perjanjian Bungaya.
Perjanjian mana ditanda tangani oleh Sultan Hasanuddin dengan Cornelis
Speelman Admiral Kompeni Belanda. Sementara perjanjian Sultan Hasanuddin
dengan Arung Palakka adalah melepaskan Bone dan Soppeng sebagai jajahan
Gowa.
Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.
Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.
La
Tenri Tatta Arung Palakka menjawab ; ”Saya menjunjung tinggi keinginan
Puatta, tetapi saya tetap berpendapat bahwa nantilah api itu padam baru
dicarikan penggantinya, artinya nantilah Arumpone benar-benar sudah
tidak ada baru diganti”.
Oleh
karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai ia
meninggal dunia. Akan tetapi hanyalah simbol belaka, sebab yang
melaksanakan pemerintahan adalah kemenakannya yang bernama La Tenri
Tatta To Unru Arung Palakka.
Bagi
Kompeni Belanda hubungannya dengan arung-arung di Tanah Ugi harus
melalui La Tenri Tatta Arung Palakka. Cornelis Speelman meminta kepada
Gubernur Jenderal di Betawe agar Arung Palakka diangkat menjadi
Arumpone. Selain itu ia juga diangkat menjadi pimpinan bagi arung-arung
di Tanah Ugi, karena itu digelarlah To RisompaE.
Dalam
tahun 1672 M. Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia, barulah Arung
Palakka resmi menjadi Arumpone. Diseranglah Wajo pada bulan Agustus 1670
M, karena Arung Matowa Wajo yang bernama La Tenri Lai belum mau
mengalah pada saat diadakannya Perjanjian Bungaya. La Tenri Lai
menyatakan kepada KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin bahwa perang antara
KaraengE dengan Kompeni Belanda telah berakhir, tetapi perang Wajo
dengan Arung Palakka belum selesai.
Oleh
karena itu Sultan Hasanuddin menganjurkan kepada La Tenri Lai untuk
kembali ke Wajo bersama seribu pengikutnya. Sesampainya di Wajo, disusul
kemudian oleh Arung Palakka bersama seluruh pengikutnya dan
berperanglah selama empat bulan. Korban berguguran baik dari Bone,
Soppeng maupun Wajo. Batal sudah Perjanjian TellumpoccoE, akhirnya Wajo
kalah. Tosora terbakar, bobol sudah pertahanan Wajo.
Dalam
peperangan yang dahsyat ini, Arung Matowa Wajo La Tenri Lai To
Sengngeng gugur terbakar, maka digelarlah MatinroE ri Salokona. Dengan
demikian datanglah utusan PillaE PatolaE minta untuk diadakan gencatan
senjata atau menghentikan perang kepada Bone dan Soppeng.
Permintaan
itu dijawab oleh Arung Palakka bahwa hanya diberi kesempatan selama
tiga hari untuk mengurus jenazah Arung MatowaE ri Wajo. Setelah itu,
sepakatlah orang Wajo untuk mengangkat La Palili To Malu menggantikan La
Tenri Lai To Sengngeng sebagai Arung Matowa Wajo yang baru.
Arung
Matowa Wajo inilah yang menyatakan diri kalah dengan Bone dan Soppeng.
Pada tanggal 23 Sepetember 1670 M. La Palili To Malu naik ke
Ujungpandang untuk menanda tangani perjanjian dalam Benteng Rotterdam.
Arung Palakka MalampeE Gemme’na, ArungE ri Bantaeng, Datu Soppeng, Arung
Tanete serta beberapa petinggi lainnya yang mengantar Arung Matowa Wajo
La Palili To Malu masuk ke Benteng Rotterdam. Arung Matowa Wajo brsama
dengan PillaE yang bernama La Pakkitabaja, PatolaE yang bernama La
Pangabo, CakkuridiE yang bernama La Pedapi, inilh yang dinamakan TelluE
Bate Lompo ri Wajo.
Selaku Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Celebes Selatan, La Tenri Tatta Petta To RisompaE belum merasa puas kalau TelluE Cappa’ Gala yaitu
Kerajaan Besar Bone, Gowa dan Luwu tidak bersatu. Oleh karena itu, ia
mengawali dengan mengawinkan bakal penggantinya sebagai Arumpone kelak
yaitu La Patau Matanna Tikka WalinonoE dengan anak PajungE ri Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka dari isterinya yang bernama We Diyo Opu Daeng Massiseng Petta I Takalara. Anak Datu Luwu tersebut bernama We Ummung Datu Larompong.
We Ummung Datu Larompong kemudian diangkat menjadi Maddanreng TellumpoccoE (Bone,
Soppeng dan Wajo) dan seluruh daerah sahabat Bone dalam tahun 1686 M.
Untuk Wajo diangkat dua orang berpakaian kebesaran, begitu pula Soppeng,
Ajatappareng, Massenrempulu, Mandar PituE Babanna Minanga tiga orang,
Kaili, Butung, Tolitoli masing-masing tiga orang. Sedangkan Ajangale’
dan Alau Ale’ masing-masing dua orang.
Adapun perjanjian La Tenri Tatta Petta To RisompaE dengan Datu Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka, adalah,
”Apabila La Patau bersama We Ummung Datu Larompong melahirkan anak, maka anaknya itulah yang akan menjadi Datu di Luwu”.
Selanjutnya La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi di Tanah Mangkasar dengan perempuan yang bernama We Mariama (Siti Maryam) Karaeng Patukangang. Anak dari La Mappadulung Daeng Mattimung KaraengE ri Gowa yang juga dinamakan Sultan Abdul Jalildengan isterinya Karaeng Lakiung. Dalam acara perkawinannya itu, datang semua daerah sahabat Bone menyaksikannya.
Adapun perjanjian Petta To RisompaE dengan KaraengE ri Gowa, pada saat dikawinkannya La Patau Matanna Tikka dengan We Mariamaadalah,
”Kalau nantinya La Patau dengan We Mariama melahirkan anak laki-laki, maka anaknya itulah yang diangkat menjadi Karaeng di Gowa”. Oleh karena itu maka hanyalah anak We Ummung dari
Luwu dan anak We Mariama dari Gowa yang bisa diangkat menjadi Mangkau’
di Bone. Sementara yang lain, walaupun berasal dari keturunan bangsawan
tinggi, tetapi dia hanya ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak
menjadi Mangkau’). Kecuali kalau anak We Ummung dan We Mariama yang
menunjuknya.
Aturan yang berlaku di TellumpoccoE dan TelluE Cappa’ Gala adalah -tenri pakkarung cera’E – tenri attolang rajengE (cera’
tidak bisa menjadi Arung dan rajeng tidak bisa menggantikan Arung).
Kecuali semua putra mahkota telah habis dan tidak ada lagi pilihan lain.
Ketika kemanakan Petta To RisompaE yang bernama We Pattekke Tana Daeng Tanisanga Petta MajjappaE Datu TelluE Salassana –digeso’ (tradisi orang Bugis menggosok gigi dengan batu pada saat anak mulai dewasa), diundanglah seluruh Bocco dan seluruh Lili Passeyajingeng Bone.
Pada saat itulah Petta To RisompaE memberikan kepada kemanakannya itu
Pattiro dan harta benda yang pernah dipersaksikan kepada orang banyak
sesudah memotong rambutnya.
Selanjutnya We Pattekke Tana diberikan oleh ibunya Mario Riwawo beserta isinya, dan ayahnya memberikan Tanete beserta isinya.
Pada acara maggeso’nya We Pattekke Tana, hadir semua Lili Passeyajingeng Bone, seperti TellumpoccoE,
LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga, LimaE Massenreng Pulu,
TelluE Batupapeng, Butung, Toirate, BukiE, Gowa, Cappa’galaE dan petinggi-petinggi Kompeni Belanda.
Pada saat itu juga datang utusan PajungE ri Luwu untuk melamarkan putranya yang bernama La Onro To Palaguna kepada We Pattekke Tana. Petta To RisompaE mengatakan kepada utusan Datu Luwu,
”Saya bisa menerima lamaranmu wahai orang Ware, tetapi dengan perjanjian We Tekke (Pattekke Tana) engkau angkat menjadi datu di Luwu. Walaupun dia nantinya tidak memiliki anak dengan suaminya (La Onro To Palaguna), apalagi kalau dia berdua melahirkan anak, maka harus mewarisi secara turun temurun tahta sebagai Datu Luwu”.
Permintaan tersebut diakui oleh orang Ware, berjanjilah Puatta MatinroE ri Bontoala dengan MatinroE ri Tompo’tikka untuk mengangkatWe Pattekke Tana sebagai Datu Luwu sampai kepada anak cucunya. Kesepakatan ini disetujui oleh orang Ware yang disaksikan oleh TellumpoccoE.
Dari perkawinan We Pattekke Tana dengan La Onro To Palaguna lahirlah Batara Tungke Sitti Fatimah. Kemudian Sitti Fatimah kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Rumpang Megga To Sappaile Cenning ri Luwu. Anak dari We Yasiya Opu Pelai Lemolemo dengan suaminya yang bernama La Ummareng Opu To Mallinrung.
We Fatimah melahirkan tiga orang anak, yaitu We Tenri Leleang, inilah yang menjadi pewaris Datu Luwu. Yang kedua La Tenri Oddangatau La Oddang Riwu Daeng Mattinring, dialah yang menjadi pewaris Arung Tanete. Sedangkan yang ketiga La Tenri Angke Datu WaliE, dialah Datu Mario Riwawo.
Merasa usianya semakin renta, La Tenri Tatta To Unru Petta To RisompaE MalampeE Gemme’na memilih untuk menetap di Tanah Makassar. Tahun 1696 M. ia meninggal dunia di rumahnya di Bontoala, maka dinamakanlah MatinroE ri Bontoala. La Tenri Tatta Arung Palakka yang juga bernama Sultan Saaduddin dikuburkan di Bonto Biraeng berdampingan dengan makam Sultan Hasanuddin MatinroE ri Bontoala.
La Patau Matanna Tikka (1696–1714)
Juni 30, 2008 — tomanurung
Nama lengkapnya adalah La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang MatinroE ri Nagauleng. Dialah yang menjadi Arumpone setelah pamannya Latenri Tatta Aru Palakka Petta To RisompaE meninggal dunia. Sebelum Petta To RisompaE meninggal dunia, memang kemanakannya yang bernama La Patau Matanna Tikka inilah
yang dipesankan untuk menggantikan kedudukannya sebagai Arumpone. Pesan
yang dipersaksikan kepada seluruh orang Bone segenap Lili Passeyajingeng Tanah Bone didukung oleh anggota Hadat Tujuh Bone.
La Patau Matanna Tikka adalah anak dari adik perempuan Petta To RisompaE yang bernama We Mappolo BombangE Da Ompo We Tenri Wale Maddanreng Palakka MatinroE ri Ajappasareng. Anak ini lahir dari perkawinannya dengan La PakokoE Toangkone TadampaliE Arung Timurung MaccommengE. La
Patau Matanna Tikka MalaE Sanrang, dia juga sebagai Ranreng Towa Wajo
pusaka dari ayahnya. Selain itu ia pula sebagai Arung di Ugi.
La
Patau merasa belum kuat kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone berhubung
masih ada putra mahkota yang lain yang berpeluang untuk diangkat
menjadi Mangkau’ di Bone. Putra mahkota tersebut, antara lain ; La
Pasompereng Petta I Teko, anak dari La Poledatu ri Jeppe’ dari
perkawinannya dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri
Sengngeng.
La
Poledatu ri Jeppe’ bersaudara dengan La Tenri Bali Datu Soppeng
MatinroE ri Datunna. Anak dari La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE
yang juga sebagai Arung Sijelling. La Maddussila Arung Mampu adalah anak
dari We Tenri Patuppu Arumpone MatinroE ri Sidenreng. Sedangkan We
Tenri Sengngeng adalah anak dari We Tenri Tana Massao LebbaE ri Mampu,
adalah saudara La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE.
We
Tenri Tana kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri
Peppang Lebbi WaliE Arung Kaju. Dari perkawinannya itu lahirlah We Tenri
Sengngeng. La Tenri Peppang Lebbi WaliE adalah anak dari We Tenri
Pateya saudara We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng.
We
Tenri Patuppu bersaudara, yaitu ; We Tenri Pateya dan We Tenri Parola
adalah anak dari La Pattawe Arung Palenna Arumpone MatinroE ri Bettung
Bulukumba, dari hasil perkawinannya dengan We Balole I Dapalippu Arung
Mampu. We Balole I Dapalippu Arung Mampu adalah anak dari La Uliyo
Bote’E Arumpone MatinroE ri Itterung dengan isterinya yang bernama We
Tenri Gau Arung Mampu. Arumpone La Uliyo Bote’E inilah yang merupakan
nenek dari La Pasompereng Arung Teko dan juga merupakan nenek dari La
Patau Matanna Tikka.
Hanya saja ketika Petta TorisompaE menjadi Mangkau’ di Bone sampai meninggal dunia, La Pasompereng kebetulan tidak berada di Tanah Ugi. Dia ke Timor Kupang karena disuruh oleh Petta To RisompaE sendiri membantu Kompeni Belanda dalam memerangi orang Timor. Setelah Petta To RisompaE meninggal dunia, barulah La Pasompereng kembali ke Bone dan bermaksud merebut kedudukan La Patau Matanna Tikka sebagai Arumpone.
Hanya saja ketika Petta TorisompaE menjadi Mangkau’ di Bone sampai meninggal dunia, La Pasompereng kebetulan tidak berada di Tanah Ugi. Dia ke Timor Kupang karena disuruh oleh Petta To RisompaE sendiri membantu Kompeni Belanda dalam memerangi orang Timor. Setelah Petta To RisompaE meninggal dunia, barulah La Pasompereng kembali ke Bone dan bermaksud merebut kedudukan La Patau Matanna Tikka sebagai Arumpone.
Pada
mulanya La Patau tidak mengetahui bahwa La Pasompereng dianggap cacat
oleh Kompeni Belanda. Nanti setelah adanya surat dari Kompeni Belanda
yang menjelaskan tentang perbuatan La Pasompereng, barulah Lka Patau
merasa bahwa kedudukannya sebagai Mangkau di Bone telah aman. Karena
jelas bahwa La Pasompereng tidak mungkin didukung oleh Kompeni Belanda
untuk menduduki Mangkau’ di Bone dengan adanya kesalahannya itu. Apalagi
La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna yang bisa mendukungnya
juga telah meninggal dunia.
Ketika
La Tenri Bali MatinroE ri Datunna meninggal dunia, ia tidak lagi
digantikan oleh anaknya. Tetapi orang Soppeng pergi ke Bone untuk minta
kepada La Patau Matanna Tikka agar selain sebagai Mangkau’ di Bone,
dapat juga menjadi Datu di Soppeng. La Patau Matanna Tikka tidak
mengiyakan permintaan orang Soppeng tersebut, karena ia berpikir bahwa
kalau permintan orang Soppeng itu diterima, maka ia harus menghadapi dua
musuh besar yaitu La Pasompereng Arung Teko dan Daeng Mabbani Sule
DatuE ri Soppeng.
Sebagai Ranreng Towa di Wajo, La Patau Matanna Tikka sekali sebulan harus ke Ujungpandang untuk melihat orang Wajo yang ada di Ujungpandang. Untuk membantunya, diangkatlah Amanna Gappa sebagai Matowa Wajo yang menggantikan dirinya bila kembali ke Bone.
Sebagai Ranreng Towa di Wajo, La Patau Matanna Tikka sekali sebulan harus ke Ujungpandang untuk melihat orang Wajo yang ada di Ujungpandang. Untuk membantunya, diangkatlah Amanna Gappa sebagai Matowa Wajo yang menggantikan dirinya bila kembali ke Bone.
Setiap
datang dari Bone, La Patau selalu mengadakan Duppa Sawungeng
(penyabungan ayam) secara besar-besaran di Malimongeng. Semua
arung-arung yang ada di Celebes Selatan yang datang ke Ujungpandang
untuk menemui Pembesar Kompeni Belanda, mereka datang apabila La Patau
ada.
Batari Toja Daeng Talaga Matinro-E ri Tippuluna (1714–1715)
Batari Toja Daeng Talaga menggantikan ayahnya La Patau Matanna Tikka menjadi Mangkau’; di Bone, karena dialah yang dipesankan oleh ayahnya sebelum meninggal dunia. Disamping sebagai Arumpone, Batari Toja juga sebagai Datu Luwu dan Datu Soppeng.
Sebelumnya Batari Toja diangkat sebagai Arung Timurung, nanti setelah
diangkat menjadi Arumpone, barulah Timurung diserahkan kepada adiknya
yang bernama We Patimana Ware. We Patimana Ware inilah disamping sebagai Arung Timurung, juga sebagai Datu Citta.
Batari
Toja diangkat menjadi Mangkau’ di Bone pada tanggal 17 Oktober 1704 M.
dan diberi gelar Sultanah Zaenab Zakiyatuddin. Batari Toja kawin dengan
Sultan Sumbawa yang bernama Mas Madinah. Tetapi perkawinan itu tidak
berlangsung lama akhirnya bercerai sebelum melahirkan anak. Perkawinan
ini memang hanya memenuhi pesan La Tenri Tatta Petta To RisompaE semasa
hidupnya yang menghendaki Batari Toja dikawinkan dengan Sultan Sumbawa
Mas Madinah.Batari Toja resmi diceraikan oleh Mas Madinah pada tanggal
27 Mei 1708 M.
Sultan
Sumbawa kemudian kawin di Sidenreng dengan perempuan yang bernama I
Rakiyah Karaeng Agangjenne. Perkawinannya itu membuat Batari Toja marah,
I Rakiyah dikeluarkan sebagai Karaeng Agangjenne, sehingga pergi ke
Sumbawa bersama suaminya. Perkawinan I Rakiyah dengan Sultan Sumbawa Mas
Madinah melahirkan seorang anak perempuan yang bernama I Sugiratu.
Karaeng Agangjenne adalah anak mattola (pewaris) dari La Malewai Arung
Berru. I Rakiyah Karaeng Agangjenne adalah anak dari La Malewai Arung
Berru Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang bernama I Sabaro anak
Karaeng Karunrung Tu Mammenanga ri Ujungtana.
Batari
Toja Daeng Talaga lahir pada tahun 1668 M. kemudian diangkat menjadi
Mangkau’ di Bone pada tanggal 19 September 1714 M. Karena pada saat itu
banyak upaya-upaya dari orang lain untuk menghalanginya, maka Batari
Toja menyerahkan kepada saudaranya yang berada di Gowa. Batari Toja
minta perlindungan kepada saudaranya yaitu La Pareppai To Sappewali
SombaE ri Gowa . Sementara akkarungengE ri Bone diserahkan kepada
saudaranya yang bernama La Padassajati To Appamole Arung Palakka.
La Padassajati disetujui oleh Adat bersama Arung PituE untuk menjadi Arumpone menggantikan saudaranya Batari Toja Daeng Talaga.
La Padassajati To Appaware (1715–1718)
Juni 30, 2008 — tomanurung
La Padassajati To Appaware adalah anak dari La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng dengan isterinya We Mariama Karaeng Pattukangang. Ketika La Patau menjadi Mangkau’ di Bone, La Padassajati To Appaware membuat kesalahan besar dengan hukuman yang sangat berat.
Karena
dia takut kepada ayahnya yang dikenal sangat menjunjung tinggi adat
serta tidak memandang bulu dalam menegakkan hukum, maka La Padassajati
melarikan diri ke Gowa. Di sana ia minta perlindungan kepada neneknya
KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu La Patau Matanna Tikka minta kepada
KaraengE ri Gowa untuk mengembalikan La Padassajati ke Bone untuk
diadili oleh adat. Tetapi KaraengE ri Gowa tidak sampai hati untuk
memberikan cucunya itu untuk menjalani hukuman berat di Bone. Hal ini
membuat hubungan antara Bone dengan Gowa menjadi tegang dan nyaris
menimbulkan peperangan.
Untung
Kompeni Belanda cepat-cepat menengahinya. Karena La Patau Matanna Tikka
sudah bertegas untuk memberi tindakan tegas kepada Gowa kalau anaknya
itu tidak dikembalikan ke Bone untuk menjalani hukuman. Sementara
Karaeng E ri Gowa juga bertegas untuk tidak akan memberikan cucunya itu.
Setelah
ayahnya meninggal dunia, barulah La Padassajati kembali ke Bone. Batari
Tojalah yang mengembalikan adiknya itu ke Bone yang kemudian memberinya
akkarungeng (Mangkau’) di Bone dan Datu Soppeng pada tanggal 14 Oktober
1715 M.
Adapun
kesalahan yang dilakukan La Padassajati pada masa pemerintahan ayahnya
adalah dia menyuruh untuk membunuh Arung Ujumpulu Datu Lamuru yang
bernama La Cella anak dari La Malewai Arung Ujumpulu Arung Berru
Addatuang Sidenreng MatinroE ri Tana MaridiE dengan isterinya yang
bernama We Karoro Datu Lamuru. La Padassajati menyuruh orang mencekiknya
sampai mati.
Tindakan
La Padassajati ini membuat TellumpoccoE marah dan disuruh tangkaplah La
Padassajati untuk dijatuhi hukuman. Untuk menghindari hukuman tersebut
La Padassajati disuruh mengungsi ke Beula. Di sanalah ia meninggal dunia
sehingga digelar MatinroE ri Beula.
La Pareppai To Sappewali (1718–1721)
La Pareppai To Sappewali menggantikan saudaranya La Padassajati menjadi Mangkau’ di Bone. Inilah anak tertua dari La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng dari isterinya yang bernama We Mariama Karaeng Pattukangang.
La Pareppai To Sappewali di samping sebagai Arumpone, dia juga sebagai Somba ri Gowa dan Datu di Soppeng. Dia menggantikan neneknya sebagai Somba ri Gowa pada tahun 1709 M. Dia pula diberi nama Sultan Ismail yang disebut dalam khutbah Jumat.
Ketika
menjadi Karaeng ri Gowa, ia bermusuhan dengan ayahnya. Tetapi
permusuhan tersebut berakhir dengan kekalahan Gowa dari serangan Bone.
Karena La Pareppai To Sappewali kelihatannya
tidak terlalu menguasai pemerintahan, maka pada tahun 1711 M. dia
meletakkan Akkarungeng di Gowa, Bone dan Soppeng. Ketika ia meninggal
dinamakan MatinroE ri Somba Opu.
La Muanneng dengan We Tenri Pakkemme’ melahirkan anak yang bernama La Pajarungi Daeng Mallalengi Arung Majang. La Pajarungi kawin dengan Satari, eppo uttuna (cicit) La Tenri Gora Arung Majang, yang kemudian melahirkan La Berahima Daeng Mallongi.
Selanjutnya La Muanneng dengan We Gumittiri juga melahirkan La Massellomo yang menjadi Ponggawa Bone, yang kelak kemudian digelari Ponggawa Bone LaoE ri Luwu. La Massellomo kawin dengan Petta ri Batu Pute, melahirkan anak laki-laki yang bernama La Massompongeng, inilah yang menjadi Arung Amali.
Kamudian
La Massellomo kawin lagi dengan We Camendini Arung Sumaling. Dari
perkawinannya itu lahirlah La Mappesangka Daeng Makkuling. Inilah yang
kawin dengan Besse Tanete Karaeng Bulukumba.
Selanjutnya
La Massellomo kawin lagi dengan Arung Tajong. Dari perkawinannya ini
lahir La Mappapenning To Appaimeng Daeng Makkuling. Kawin dengan sepupu
satu kali ayahnya yang bernama I Mida Arung Takalara anak dari MatinroE
ri Malimongeng dari isterinya yang bernama We Mommo Sitti Aisah. Dari
perkawinan ini lahirlah La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo, We
Yallu Arung Apala, We Oja dan We Banrigau.
Adapun
saudara perempuan La Massellomo bernama We Senradatu Sitti Amira Arung
Palakka MatinroE ri Lanna. Inilah yang kawin di Mangkasar dengan
Makasuma yang kemudian melahirkan I Sugiratu. Karena bercerai dengan
Makasuma, maka kawin lagi dan melahirkan We Besse Karaeng Leppangeng.
Dengan demikian I Sugiratu dengan We Besse Karaeng Leppangeng
bersaudara, tetapi lain ayahnya.
I
Sugiratu kawin dengan Arung Ujung anak dari To Marilaleng Pawelaiye ri
Kariwisi dengan isterinya yang bernama Karaeng Pabbineya. Dari
perkawinan itu, lahirlah La Umpu Arung Teko. Selanjutnya We Besse
Karaeng Leppangeng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La
Massompongeng Arung Sumaling. Dari perkawinannya itu, lahirlah We
Rukiyah.
We
Rukiyah kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Umpu Arung Teko
yang juga sebagai Arung Ujung. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Bau
Arung Kaju. Kemudian We Bau kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama
La Mappasessu Arung Palakka anak dari La Tenri Tappu dengan isterinya
We Padauleng Arung Timurung. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Baego
Arung Macege.
We
Besse kemudian kawin lagi dengan To Appo Arung Berru Addatuang
Sidenreng MatinroE ri Sumpang MinangaE. Dari perkawinan yang kedua ini
melahirkan seorang anak laki-laki bernama To Appasawe Arung Berru. To
Appasawe inilah yang kawin dengan Arung Paopao yang bernama Hatijah,
anak dari La Maddussila To Appangewa Karaeng Tanete dengan isterinya
yang bernama Sitti Abiba. To Appasawe dengan Arung Paopao melahirkan
anak laki-laki bernama Sumange’ Rukka To Patarai.
Sumange’
Rukka To Patarai kawin dengan anak sepupunya yang bernama We Baego
Arung Macege, anak dari We Bau Arung Kaju dengan suaminya yang bernama
La Mappasessu To Appatunru MatinroE ri Laleng Bata. Dari perkawinan
Sumange’ Rukka dengan We Baego Arung Macege, lahirlah We Pada Arung
Berru dan Singkeru’ Rukka Arung Palakka.
La
Pareppai To Sappewali meninggal dunia di Somba Opu, makanya dinamakan
MatinroE ri Somba Opu. Digantikan oleh saudaranya yang bernama La
Panaongi To Pawawoi menjadi Mangkau’ di Bone.
La Panaongi To Pawawoi (1721–1724)
Juni 30, 2008 — tomanurung
Dengan diangkatnya La Panaongi To Pawawoi sebagai Arumpone menggantikan saudaranya, maka telah tiga bersaudara dari isteri La Patau Matanna Tikka yang bernama We Mariama Karaeng Patukangang yang menjadi Mangkau’ di Bone dan juga Datu di Soppeng. Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Panaongi To Pawawoi dikenal sebagai Arumpone yang berhati jernih dan dicintai oleh rakyatnya.
La Panaongi kawin dengan We Sitti Hawang Daeng Masennang, anak dari To Ujama. Dari perkawinan itu, lahirlah La Page Arung Mampu yang juga sebagai Arung Malolo di Bone. Ketika masih kecil, La Panaongi dipelihara oleh neneknya yang bernama La Pariusi Daeng Manyampa Arung Mampu yang juga sebagai Arung Matowa Wajo MatinroE ri Buluna.
Pada saat itulah dia diwariskan oleh neneknya Akkarungeng ri Mampu,
Sijelling dan Amali. Oleh karena itu sebelum menjadi Arumpone La Panaongi To Pawawoi telah dikenal sebagai Arung Mampu, Arung Sijelling dan Arung Amali.
Anak La Panaongi To Pawawoi dari isterinya We Sitti Hawang yang bernama La Page Arung Mampu Arung Malolo bi Bone, kawin dengan We Cenra Arung Bakung. Dari perkawinan itu lahirlah dua anak laki-laki, yang pertama bernama La Maddussila Arung Mampu, kedua bernama La Pasampoi Arung Kading.
Kemudian La Page Arung Mampu Arung Malolo di Bone kawin lagi dengan We Saloge Arung Weteng. Dari perkawinan itu, lahirlah La Mappaware Arung Tompo’bulu, La Mappangara Arung Sinri To Marilaleng Bone Pawelaiye ri SessoE, dan We Masi Arung Weteng.
We Masi kawin dengan To Tenri To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE. Dari perlawinannya itu, lahir dua anak laki-laki bernama La Mappaware Arung Tompo’bulu dan La Mappangara Arung Sinri, inilah yang menjadi To Marilaleng Pawelaiye ri SessoE.
La Mappangara Arung Sinri, inilah yang melahirkan Haji Abdul Razak seorang ulama’ besar yang memiliki ilmu agama Islam yang sangat luas saat itu. Untuk lebih memperdalam ilmu yang dimilikinya, Haji Abdul Razak mengunjungi seorang ulama’ ahli tasauf di Berru yang bernama Haji Kalula (Haji Muhammad Fadael). Tarekat yang dipelajari dari Haji Kalula tersebut adalah Tarekat Khalwatiyah.
Ketika ulama besar Tarekat Khalwatiyah yang bernama Haji Kalula meninggal dunia, digantikanlah oleh Haji Abdul Razak sebagai ulama’ besar (Anre Guru Lompo). Selanjutnya setelah Haji Abdul Razak meninggal dunia, maka Anre Guru Lompo Tarekat Khalwatiyahberalih lagi kepada anaknya yang bernama Haji Abdullah. Ketika Haji Muhammad Abdullah meninggal dunia pada tanggal 29 Mei 1967 M. digantikan lagi oleh anaknya yang bernama Haji Muhammad Saleh Daeng Situru. Kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernamaHaji Muhammad Amin Daeng Manaba.
Beralih kepada To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE yang bernama To Tenri, anak dari We Maisuri dengan suaminya Petta Tobala, Petta PakkanynyarangE Jennang Bone. Sementara We Maisuri adalah anak dari We Daompo dengan suaminya La Uncu Arung Paijo. Sedangkan Tobala Petta PakkanynyarangE adalah anak dari Ponggawa DinruE ri Bone. We Daompo denganPonggawa DinruE ri Bone bersaudara kandung, keduanya adalah anak dari MatinroE ri Bukaka.
Dalam
tahun 1724 M. La Panaongi meletakkan AkkarungengE ri Bone dan Soppeng,
digantikan kembali oleh saudaranya dari Luwu yang bernama Batari Toja Daeng Talaga. Dengan demikian, Batari Toja Daeng Talaga menjadi Mangkau’ di Bone untuk kedua kalinya.
Batari Toja Daeng Talaga (1724–1749)
Batari Toja Daeng Talaga kembali menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan saudaranya yang bernama La Panaongi To Pawawoi. Disamping kembali menjadi Mangkau’ di Bone, Batari Toja juga kembali menjadi Datu di Luwu dan Soppeng.
Batari
Toja kawin dengan sepupu tiga kalinya yang bernama La Oki yang tinggal
di Ajattappareng. Akan tetapi La Paulangi Petta Janggo’E sepupu satu
kali La Oki mengawinkan dengan anaknya yang bernama We Tungke. Oleh
karena itu, Batari Toja membatalkan perkawinannya dengan La Oki. Pada
tahun 1716 M. Batari Toja kawin dengan Arung Kaju yang bernama Daeng
Mamutu.
Karena Batari Toja sangat dekat dengan Kompeni Belanda, membuat arung-arung tetangganya banyak yang kurang senang. Oleh karena itu Batari Toja lebih banyak tinggal di Ujungpandang dari pada di Bone. Sementara suaminya Arung Kaju yang diangkat sebagai Maddanreng (wakil) berniat merebut kekuasan isterinya.
Karena Batari Toja sangat dekat dengan Kompeni Belanda, membuat arung-arung tetangganya banyak yang kurang senang. Oleh karena itu Batari Toja lebih banyak tinggal di Ujungpandang dari pada di Bone. Sementara suaminya Arung Kaju yang diangkat sebagai Maddanreng (wakil) berniat merebut kekuasan isterinya.
Setelah
Batari Toja mengetahui maksud jahat dari suaminya itu, iapun segera
menceraikan suaminya tersebut. Bahkan mantan suaminya tersebut diusir
untuk meninggalkan Bone.
Dalam
tahun 1735 M. La Maddukkelleng Arung Peneki yang juga sebagai Sultan
Pasir di Kalimantan berniat untuk kembali ke negerinya di Peneki. Tetapi
pada saat itu, La Maddukkelleng belum bisa menginjakkan kakinya di
wilayah TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) karena kesalahan yang
pernah diperbuatnya. Pada saat itu, Wajo masih merupakan wilayah
kekuasan Bone yang ditaklukkan pada masa pemerintahan La Tenri Tatta
Arung Palakka MaloampeE Gemme’na. Sedangkan La Maddukkelleng
meninggalkan Wajo dan lari ke Kalimantan karena memperbuat kesalahan
terhadap Bone pada masa pemerintahan La Patau Matanna Tikka.
Arung
Kaju mantan suami Batari Toja yang diusir untuk meninggalkan Bone,
pergi ke Tanah Mandar bersama Karaeng Bonto Langhkasa menunggu
kedatangan La Maddukkelleng dari Tanah Pasir Kalimantan. Karaeng Bonto
Langkasa juga tidak senang dengan KaraengE ri Gowa karena dinilai sangat
dekat dengan Kompeni Belanda sebagaimana Batari Toja. Dengan demikian,
Arung Kaju menjalin kerja sama dengan Karaeng Bonto Langkasa dan La
Maddukkelleng. Kerja sama tersebut bermaksud untuk melepaskan Wajo dari
kekuasan Bone.
Sementara
Karaeng Bonto Langkasa ingin menghilangkan pengaruh Kompeni Belanda di
Gowa dan Bone, sehingga menjalin kerja sama dengan Arung Kaju Daeng
Mamutu yang memang berniat merebut kekuasan dari mantan isterinya Batari
Toja Daeng Talaga.
Adapun
Arumpone Batari Toja setelah mengetahui bahwa La Maddukkelleng telah
mendarat di Wajo, berangkatlah ke Ujungpandang untuk berlindung pada
Kompeni Belanda. Diserbulah Bone oleh pasukan La Maddukkelleng, ada juga
rombongan Karaeng Bonto Langkasa dan Arung Kaju yang menghasut orang
Bone untuk melawan Arumpone.
Setelah membumi hanguskan Bone, La Maddukkelleng meminta kembali – sebbukatina (persembahan)
Wajo yang pernah diberikan kepada Bone pada masa pemerintahan Petta To
RisompaE. Maka kembalilah Wajo menjadi wilayah merdeka dari kekuasaan
Bone. Diangkatlah La Maddukkelleng sebagai Arung Matowa Wajo
menggantikan pamannya.
Pergilah
La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo ke Gowa untuk memanggil Sitti Napisa
Karaeng Langelo We Denradatu saudara KaraengE ri Gowa yang bernama I
Mallawangeng Gau Sultan Abdul Khair untuk diangkat menjadi Arumpone.
Akan tetapi ditolak oleh orang Bone, maka pergilah Karaeng Langelo ke
Wajo dan tinggal di rumah La Maddukkelleng.
Selain
itu datang pula La Oddang Riwu Karaeng Tanete bersama pasukannya
bermaksud pula menjadi Arung di Bone. Akan tetapi tidak disetujui oleh
Kompeni Belanda dan KaraengE ri Gowa. Juga tidak diterima oleh Adat
Bone.
Oleh
karena itu dikembalikanlah Batari Toja ke Bone untuk menjadi Arumpone
berdasarkan keinginan Arung PituE (Adat) di Bone. Setelah kembali ke
Bone, Batari Toja menyuruh Kadhi Bone yang bernama Abdul Rasyid ke Tanah
Mandar memanggil La Pamessangi untuk menjadi Arung di Belawa Orai,
Alitta dan Suppa yang pernah diusir oleh KaraengE ri Gowa.
Ketika
sampai di Mandar, Kadhi Bone Abdul Rasyid menyampaikan kepada La
Pamessangi bahwa dia disuruh oleh Arumpone Batari Toja memanggil kembali
ke Bone untuk kembali menjadi Arung di Belawa Orai, Suppa dan Alitta.
Penyampaian itu dibenarkan oleh Matowa Belawa yang menyertai Kadhi Bone
ke Balannipa menemui La Pamessangi.
La Temmassonge To Appaweling (1749–1775)
Juni 30, 2008 — tomanurung
La Temmassonge To Appaweling nama kecilnya adalah La Mappasossong. Sebelum diangkat menjadi Mangkau di Bone menggantikan saudaranya Batari Toja Daeng Talaga, ia telah menjadi Arung Baringeng dan Ponggawa Bone. Disamping itu ia pernah pula menjadiTomarilaleng di Bone pada masa pemerintahan Batari Toja.
Dia
adalah anak dari La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng Arumpone
yang ke 16 yang menggantikan pamannya La Tenri Tatta MalampeE Gemme’na.
Menurut garis keturunannya, dia bukanlah putra mahkota ( anak pattola )
karena ibunya bukan-lah Arung Makkunrai (permaisuri). Oleh karena itu La
Temassonge’ hanyalah dipandang sebagi cera’ rimannessaE – sengngengngi
ri mallinrungE. Artinya pada kenyataannya dia adalah anak cera’, tetapi
sesungguhnya adalah anak sengngeng (putra mahkota).
Hal ini terjadi karena hanya dua isteri La Patau Matanna Tikka yang diakui sebagai permaisuri, yakni; We Ummung Datu Larompong dari Luwu dan We Mariama Karaeng Patukangang dari Gowa. Sementara ibu La Temmassonge’ walaupun dia adalah keturunan bangsawan tinggi, tetapi tidak termasuk sebagai Arung Makkunrai, sehingga La Temmassonge’ hanya dianggap sebagai cera’.
Hal ini terjadi karena hanya dua isteri La Patau Matanna Tikka yang diakui sebagai permaisuri, yakni; We Ummung Datu Larompong dari Luwu dan We Mariama Karaeng Patukangang dari Gowa. Sementara ibu La Temmassonge’ walaupun dia adalah keturunan bangsawan tinggi, tetapi tidak termasuk sebagai Arung Makkunrai, sehingga La Temmassonge’ hanya dianggap sebagai cera’.
Tetapi
karena putra mahkota sudah tidak ada lagi yang bisa diangkat sebagai
Mangkau di Bone pada saat itu, maka pilihan dialihkan kepada La
Temmassonge’ untuk diangkat menjadi Mangkau di Bone menggantikan
saudaranya Batari Toja Daeng Talaga MatinroE ri Tippulunna. Posisi La
Temmassonge’ sebagai cera ri mannessaE – sengngengngi ri mallinrungE ,
hanya diketahui oleh saudaranya Batari Toja. Dengan demikian, sebelum
meninggal dunia, Batari Toja telah berpesan bahwa yang bakal
menggantikannya kelak adalah La Temmassonge’ To Appaweling.
Pada
saat-saat terakhir Batari Toja dia dirawat oleh La Temmassonge’ karena
Batari Toja menganggap bahwa La Temmassonge’adalah saudaranya yang
paling dekat.Itulah sebabnya sehingga banyak putra bangsawan Bone yang
menganggap bahwa La Temmassonge’ tidak pantas untuk diangkat menjadi
Arumpone, terutama keluarga Arung Kaju yang pernah dibunuhnya. Itu pula
sebabnya sehingga Akkarungeng La Temmassonge’ di Bone terkatung-katung
sejak tahun 1749 M. dan nantilah pada tahun 1752 M. baru dilantik
sebagai Arumpone.
Untuk
itu La Temmassonge’ minta dukungan Kompeni Belanda di Ujungpandang agar
kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone bisa dikukuhkan. Datang pula
Arung Berru dan Addatuang Sidenreng meminta kepada Pembesar Kompeni
Belanda di Makassar agar kedudukan La Temmassonge’ sebagai Arumpone
segera dikukuhkan.
Karena
desakan Arung Berru dan Addatuang Sidenreng yang bernama To Appo, yang
kemudian didukung oleh Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Asmaun,
maka para anggota Hadat Bone kembali menerima La Temmassonge sebagai
Mangkau’ di Bone, dan dikukuhkan pada tahun 1752 M.
Adapun
isteri La Temmassonge’ yang diakui sebagai Arung Makkunrai (permaisuri)
adalah We Mommo Sitti Aisah anak dari Maulana Muhammad dengan
isterinya. Datu Rappeng. We Mommo Sitti Aisah adalah cucu langsung dari
Seikh Yusuf Tuanta Salamaka ri Gowa.
Pembesar
Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Asmaun masuk ke Bone untuk
menenangkan situasi dan setelah semua permasalahan dianggap selesai dan
kedudukan La Temmassonge’ sebagai Arumpone dianggap aman, upaya-upaya
untuk merebut kekuasan terhadap La Temmassonge’ telah tidak ada, barulah
Pembesar Kompeni Belanda membenarkan La Temmassonge’ untuk menetap di
Bone.
Disamping sebagai Mangkau’ di Bone, La Temmassonge’ juga dikenal sebagai Datu di Soppeng. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Abdul Razak Jalaluddin. La Temmassonge’ memang dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat dan sangat patuh dalam beribadah.
Disamping sebagai Mangkau’ di Bone, La Temmassonge’ juga dikenal sebagai Datu di Soppeng. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Abdul Razak Jalaluddin. La Temmassonge’ memang dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat dan sangat patuh dalam beribadah.
La
Temmassonge’ dikenal sebagai Mangkau di Bone yang memiliki banyak
anak.Dalam catatan terdapat kurang lebih 80 dengan jumlah isteri yang
tidak sempat dihitung. Namun isteri yang dianggapnya sebagai Arung
Makkunrai (permaisuri) adalah We Mommo Sitti Aisah cucu dariTuanta Salamaka ri Gowa.
Adapun anak-anak dari isterinya yang bernama We Mommo Sitti Aisah; La Baloso To Akkaottong, inilah yang menjadi Maddanreng di Bone. La Baloso kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru Arung Lempang anak dari saudara perempuan ayahnya. Dari perkawinan La Baloso dengan We Tenriawaru Arung Lempang, lahirlah La Sibengngareng dan inilah yang kemudian menjadi Maddanreng di Bone.
La Tenri Tappu To Appaliweng (1775–1812)
La Tenri Tappu To Appaliweng adalah cucu La Temmassonge’ To Appaweling MatinroE ri Malimongeng, dari anaknya yang bernama We Hamidah Arung Takalar Petta MatowaE. La Tenri Tappu menggantikan neneknya menjadi Arumpone pada tanggal 4-6- 1775 M.
Arumpone La Tenri Tappu inilah yang berkedudukan di Rompegading, sehingga ketika ia meninggal dunia digelar Latenri Tappu MatinroE ri Rompegading. Sebagai Arumpone, ia pernah berperang dengan Addatuang Sidenreng yang bernama La Wawo.
Persoalannya adalah karena La Wawo akan melepaskan diri dari
keterikatannya dengan Bone. La Wawo bertegas tidak akan memberikan lagi – sebbukati (upeti) yaitu semacam persembahan yang menjadi kewajiban Addatuang Sidenreng.
Setelah
melalui pertimbangan yang matang, berangkatlah orang Bone dibawah
komando Arumpone untuk menyerang Sidenreng. Karena merasa terancam, Addatuang Sidenreng La Wawo minta bantuan kepada Karaeng Tanete.
La Wawo minta kepada Karaeng Tanete agar Arumpone La Tenri Tappu
bersama segenap pasukannya dapat dibendung untuk tidak memasuki wilayah
Sidenreng. Addatuang Sidenreng La Wawo menyanggupi untuk menyediakan –ubba yaitu semacam bahan peledak kepada Karaeng Tanete dalam membendung serangan Bone.
Setelah
bermusuhan kurang lebih tiga tahun, ternyata orang Bone tidak mampu
untuk melewati Sungai Segeri karena dibendung oleh orang Tanete dengan
bantuan Petta TollaowE ri Segeri.
Untuk
mencegah terjadinya perang yang berkerpanjangan, Pembesar Kompeni
Belanda di Ujungpandang segera turun tangan. Pembesar Kompeni Belanda
yang bernama Yacobson Wilbey mengingatkan kepada Arumpone La Tenri Tappu untuk mundur ke Bone. Begitu pula kepada Addatuang Sidenreng La Wawo agar menarik pasukannya kembali ke Sidenreng. Dengan demikian, perang antara Bone dengan Sidenreng berakhir.
Ketika perang antara Bone dengan Sidenreng berakhir, datanglah La Wawo kepada Karaeng Tanete membawa
40 orang Batu Lappa dan 20 orang Kasa sebagai pengganti harga ubba yang
digunakan Karaeng Tanete selama perang. Dalam masa pemerintahan La
Tenri Tappu di Bone, Inggeris menduduki Rotterdam menggantikan Belanda
tahun 1814 M.
La Tenri Tappu To Appaliweng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Padauleng untuk dijadikan sebagai Arung Makkunrai(permaisuri) di Bone. We Padauleng adalah anak dari La Baloso, saudara ibunya dengan isterinya yang bernama We Tenriawaru Arung Lempang.
We Padauleng dengan La Tenri Tappu melahirkan anak pertama bernama La Mappasessu To Appatunru, inilah yang kemudian menjadi Mangkau’ di Bone, kedua bernama We Manneng Arung Data, ketiga bernama Batara Tungke Arung Timurung, keempat bernama La Pawawoi Arung Sumaling, kelima bernama La Mappaseling Arung Pannyili, keenam bernama La Tenri Sukki Arung Kajuara, ketujuh bernama We Kalaru Arung Pallengoreng, kedelapan bernama Mamuncaragi, kesembilan bernama La Tenri Bali Arung Ta’, kesepuluh bernama La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung Bone, kesebelas bernama La Paremma’ Rukka Arung Karella, kedua belas bernama La Temmu Page Arung Paroto Ponggawa Bone MatinroE ri Alau Appasareng, ketiga belas bernamaLa Pattuppu Batu Arung Tonra.
La Mappasessu To Appatunru kawin dengan We Bau Arung Kaju, anak dari We Rukiyah dengan suaminya yang bernama La Umpu Arung Teko. Dari perkawinannya itu lahirlah; We Baego Arung Macege. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kali ibunya yang bernamaSumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Selanjutnya dari perkawinan We Baego Arung Macege dengan Sumange’ Rukka To Patarai, lahirlah; We Pada Arung Berru dan Singkeru’ Rukka Arung Palakka.
Adapun La Tenri Sukki Arung Kajuara To Malompo di Bone, kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana Arung Kaju. Dari perkawinannya itu lahir seorang anak perempuan bernama We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara. Daeng Matana adalah anak dari We Maddilu saudara kandung We Padauleng Arung Makkunrai di Bone.
Sedangkan La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung Bone, kawin dengan We Tabacina atau Bau Cina Karaeng Kanjenne anak dari We Mudariyah MappalakaE Ranreng Talotenre dengan suaminya yang bernama La Pasanrangi Petta CambangE Arung Malolo Sidenreng. Dari perkawinan Bau Cina dengan Petta Anre Guru AnakarungE ; pertama bernama La Parenrengi Arung Ugi. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru atau Pancai’tana Besse Kajuara anak dari We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana dengan suaminya yang bernama La Tenri Sukki Arung Kajuara.
La Mappasesseu To Appatunru (1812–1823)
La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka menggantikan
ayahnya menjadi Mangkau’ di Bone pada tahun 1812 M. Namun pelantikannya
nanti pada tahun 1814 M. La Mappasessu To Appatunru dikenal banyak
bersaudara, anak dari La Tenri Tappu To Appaliweng MatinroE ri Rompegading dengan isterinya We Padauleng MatinroE ri Sao Denrana.
Pada saat menjadi Arumpone, Inggeris masuk memerintah menggantikan Belanda. Inggerislah yang menyuruh Arung Mampu yang bernamaDaeng Riboko untuk mengambil SudengE dan segenap benda Kerajaan Gowa yang selama ini dipegang oleh Arumpone. Tetapi Arumpone tetap mempertahankan segenap milik ArajangE ri Gowa karena memang Arumpone punya niat untuk menjadi Arung di Gowa. Baik Arumpone La Tenri Tappu maupun La Mappasessu anaknya, merasa memiliki hak untuk menjadi Karaeng di Gowa karena memang adalah cucu dari KaraengE ri Gowa MatinroE ri Somba Opu. Apalagi banyak sekali orang Gowa yang tinggal di pegunungan yang menyerahkan diri.
Oleh
karena itu, Arumpone La Mappasessu berkeras untuk menjadi Karaeng ri
Gowa. Pada saat itu belum ada yang jelas tentang Karaeng di Gowa. Bagi
orang Gowa beranggapan bahwa siapa saja yang memegang benda –benda
Arajang, itulah yang dianggap sebagai Karaeng ri Gowa. Walaupun telah
dilantik sebagai Karaeng, tetapi tidak memiliki benda-benda ArajangE ri
Gowa, maka tidak bisa memerintah di Gowa.
Pembesar
Inggeris yang bernama Residen Philips menyuruh kepada Arung Mampu Daeng
Riboko pergi menemui Arumpone untuk minta agar benda-benda Kerajaan
Gowa yang disimpan oleh Arumpone La Tenri Tappu pada masa hidupnya
dikembalikan ke Gowa. Tetapi Arumpone La Mappasessu tetap mempertahankan
untuk tidak memberikan SudengE dan segenap benda-benda Kerajaan Gowa
tersebut.
Karena
Pembesar Inggeris merasa tidak dipatuhi, maka direncanakanlah untuk
menyerang Bone. Arumpone saat itu berkedudukan di Rompegading dan
Inggeris melakukan serangan kepada Arumpone. Karena persenjataan
Inggeris jauh lebih kuat, maka pada akhirnya Arumpone kalah setelah
Rompegading dibumi hanguskan. Arumpone La Mappasessu serta seluruh
keluarganya kembali ke Bone dan berkedudukan di Laleng Bata. Adapun
SudengE serta segenap benda-benda Kerajaan Gowa, Arumpone menyerahkan
kepada Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Selanjutnya Datu Soppeng
MatinroE ri Amala’na yang memberikan kepada Arung Mampu untuk
dilanjutkan kepada Kompeni Inggeris.
Pada
tanggal 4 Juni 1814 M. Kompeni Inggeris menyerahkan SudengE dan segenap
benda-benda Kerajaan Gowa kepada Bate SalapangE ri Gowa . Jenderal
Perang Inggeris yang menyerang Rompegading bernama Tuan Nightingale.
Dalam tahun 1816 M. Gubernur Jenderal Belanda kembali memerintah.
Dalam
khutbah Jumat nama Arumpone La Mappasessu To Appatunru disebut sebagai
Sultan Muhammad Ismail Mukhtajuddin. Inilah Arumpone yang kawin dengan
sepupu dua kalinya yang bernama We Bau Arung Kaju, anak dari We Rukiyah dengan suaminya yang bernama La Umpu Arung Teko. Dari perkawinannya itu lahirlah anak perempuannya yang bernama We Baego yang kemudian menjadi Arung Macege. Dalam tahun 1823 M. Arumpone La Mappasessu To Appatunru meninggal dunia di Laleng Bata dan dinamakanlah MatinroE ri Laleng Bata.
We Baego Arung Macege kawin di Berru dengan Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Anak dari Arung Berru To Appasawedengan isterinya yang bernama We Hatija Arung Paopao. We Hatija Arung Paopao adalah anak La Maddussila Karaeng Tanetedengan isterinya yang bernama We Seno Datu Citta. We Baego Arung Macege dengan Sumange’ Rukka To Patarai melahirkan pertama bernama We Pada Arung Berru, kedua bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka.
We Pada Arung Berru kawin di Gowa dengan I Mallingkaang Karaeng Katangka. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama bernama I Makkulawu Daeng Parani Karaeng Lembang Parang, kedua bernama I Topatarai Karaeng Pabbundukang. Ketiga bernama I Togellangi Karaeng Silajo, keempat bernama We Batari Daeng Marennu Arung Berru, kelima bernama We Bau, keenam bernama We Biba Karaeng Bonto Masuji, ketujuh bernama Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, kedelapan bernama Butta Intang Karaeng Mandalle, kesembilan bernama I Mangiruru Daeng Mangemba Karaeng Manjalling, kesepuluh bernama We Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete, kesebelas bernama Sitti Haja Daeng Risanga, kedua belas bernama Sitti Rugaiya Karaeng Langelo, ketiga belas bernama I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo.
I Manneng Arung Data (1823–1835)
I Manneng Arung Data menggantikan saudaranya MatinroE ri Laleng Bata menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat nama I Manneng Arung Data dikenal dengan sebutan Sultanah Salimah Rajiyatuddin. Dalam tahun 1824 M. pada masa pemerintahannya di Bone, Belanda kembali memerintah.
Pembesar Kompeni Belanda mengajak kepada Arumpone untuk meperbaharui Perjanjian Bungaya, yaitu perjanjian antara La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na dengan Kompeni Belanda untuk bekerja sama dalam pemerintahan.Arumpone I Manneng Arung Data dikenal sangat patuh dalam melaksanakan agama Islam, sehingga dia memperdalam yang namanya ilmu tasauf. Untuk itu ia diberikan wilayah oleh gurunya yang bernama Seikh Ahmad yang menundukkan Tambora yang digelar Alif Putih. Oleh karena itu I Manneng Arung Data bertegas untuk tidak akan mengulangi Perjanjian Bungaya. Dengan demikian, Gubernur Belanda menyerang Bone pada tahun 1825 M. Dan nanti pada tanggal 7 Agustus 1825 M. baru terjadi kesepakatan antara Bone dengan Gowa untuk menjadi Bond Gnoshap dengan Belanda sebagai realisasi Pembaharuan Perjanjian Bungaya.
Pembesar Kompeni Belanda mengajak kepada Arumpone untuk meperbaharui Perjanjian Bungaya, yaitu perjanjian antara La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na dengan Kompeni Belanda untuk bekerja sama dalam pemerintahan.Arumpone I Manneng Arung Data dikenal sangat patuh dalam melaksanakan agama Islam, sehingga dia memperdalam yang namanya ilmu tasauf. Untuk itu ia diberikan wilayah oleh gurunya yang bernama Seikh Ahmad yang menundukkan Tambora yang digelar Alif Putih. Oleh karena itu I Manneng Arung Data bertegas untuk tidak akan mengulangi Perjanjian Bungaya. Dengan demikian, Gubernur Belanda menyerang Bone pada tahun 1825 M. Dan nanti pada tanggal 7 Agustus 1825 M. baru terjadi kesepakatan antara Bone dengan Gowa untuk menjadi Bond Gnoshap dengan Belanda sebagai realisasi Pembaharuan Perjanjian Bungaya.
Arumpone
I Manneng Arung Data dikenal tidak memiliki anak karena tidak pernah
menikah. Ia meninggal dalam tahun 1835 M. dan dinamakan MatinroE ri
Kessi. Selanjutnya digantikan oleh saudaranya yang bernama La Mappaseling Arung Panynyili.
La Mappaseling Arung Pannyili (1835–1845)
La Mappaseling Arung Pannyili menggantikan saudaranya I Manneng Arung Data MatinroE ri Kessi menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Adam Najamuddin. Adapun yang menjadi penengah untuk mendamaikan kembali Bone dengan Gubernur Belanda, adalah La Mappangara Arung Sinri, anak dari We Masi Arung Weteng dengan suaminya yang bernama To Tenri Tomarilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE.
La
Mappangara menggantikan ayahnya menjadi Tomarilaleng ri Bone dan
setelah meninggal dunia, dinamakanlah PawelaiyE ri SessoE. Ketika La
Mappangara menjadi Tomarilaleng di Bone, terjalinlah kembali
persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda yang pernah terputus. Pada
tanggal 13 Agustus 1835 M. diperbaharuilah perjanjian yang pernah
disepakati oleh Petta To RisompaE dengan Pembesar Kompeni Belanda di
Ujungpandang.
Dalam
tahun 1838 M. Arumpone La Mappaseling bersama TomarilalengE Arung Sinri
berangkat ke Ujungpandang untuk menemui Pembesar Kompeni Belanda yang
bernama Tuan de Peres guna mempererat hubungan Bone dengan Kompeni
Belanda.
La
Mappangara Arung Sinri Tomarilaleng Bone yang kawin dengan saudara
perempuan Arumpone yang bernama We Kalaru Arung Pallengoreng. Dari
perkawinannya itu, tidak melahirkan anak. Begitu pula Arumpone La
Mappaseling Arung Pannyili, juga tidak memiliki Arung Makkunrai
(permaisuri) yang melahirkan anak.
Dalam
tahun 1845 M. Arumpone La Mappaseling Arung Pannyili meninggal dunia
dan dinamakanlah MatinroE ri Salassana. Dengan demikian, para Hadat Bone
bermusyawarah untuk menentukan pengganti Arumpone. Setelah terjadi
berbagai pertimbangan, maka disepakatilah La Parenrengi Arung Ugi
menggantikan pamannya sebagai Mangkau’ di Bone.
La Parenrengi Arung Ugi (1845–1857)
La Parenrengi sebagai Arung Lompu menggantikan pamannya La Mappaseling Arung Pannyili sebagai Mangkau’ di Bone. La Parenrengi adalah anak dari La Mappaewa Arung Lompu To Malompo ri Bone saudara kandung dengan MatinroE ri Salassana. Sedangkan ibunya bernama We Tabacina atau Bau Cina Karaeng Kanjenne anak dari La Pasanrangi Petta CambangE Arung Malolo Sidenreng.
Anak
MappalakaE dengan Petta CambangE, adalah ; pertama bernama La Patongai
Datu Lompulle Ranreng Talotenre. Inilah yang dipersiapkan menjadi
Addatuang Sidenreng, akan tetapi Petta CambangE berperang dengan
saudaranya yang bernama La Panguriseng sehingga kedudukan tersebut
direbut oleh La Panguriseng. Anak yang kedua bernama La Unru Arung
Ujung, ketiga bernama We Tabacina Karaeng Kanjenne dan yang keempt
bernama We Batari, meninggal diwaktu kecil.
We
Tabacina kawin dengan La Mappaewa Arung Lompu To Malompo ri Bone. Dari
perkawinannya itu lahirlah La Parenrengi. Inilah yang disepakati oleh
Hadat Tujuh Bone untuk diangkat menjadi Arumpone. Anak MappalakaE dengan
Petta CambangE berikutnya, adalah; Toancalo Arung Amali Tomarilaleng
Bone Ranreng juga di Talotenre. Berikutnya bernama We Rukiyah dan
berikutnya lagi bernama Sitti Saira Arung Lompu.
Sitti Saira kawin dengan anak sepupu satu kalinya yang bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka MatinroE ri Topaccing. Dari perkawinannya itu lahirlah We Patima Banri Arung Timurung.
Sitti Saira kawin dengan anak sepupu satu kalinya yang bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka MatinroE ri Topaccing. Dari perkawinannya itu lahirlah We Patima Banri Arung Timurung.
La
Parenrengi Arung Ugi yang telah diangkat menjadi Arumpone dan masih
tetap didampingi oleh pamannya yang bernama La Mappangara Arung Sinri.
Dalam khutbah Jumat nama Arumpone La Parenrengi disebut sebagai Sultan
Ahmad Saleh Mahyuddin. La Mappangara Arung Sinri masih tetap berjasa
dalam memperbaiki hubungan antara Bone dengan Kompeni Belanda.
Karena
jasa-jasa La Mappangara Arung Sinri sehingga Kompeni Belanda
benar-benar memperlihatkan perhatiannya dalam menjalin kerja sama dengan
Arumpone.Pembesar Kompeni Belanda yang ada di Ujungpandang sengaja
masuk ke Bone sebagai tanda bahwa Bone dengan Kompeni Belanda bersahabat
yang dimulai dari MatinroE ri Salassana.
Ketika
Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres masuk ke Bone pada
tahun 1846 M. Arumpone La Parenrengi menjemput dan menerimanya dengan
baik. Namun tidak seorangpun yang menduga bahwa persahabatan Bone dengan
Kompeni Belanda akan mengalami masalah. Seperti kata orang tua bahwa
sedangkan piring satu tempat bisa saling berbenturan, walaupun tidak ada
yang menggoyangkannya.Begitu pula Arumpone La Parenrengi dengan Kompeni
Belanda, persahabatan yang begitu akrab, tiba-tiba saja merenggang.
Karena
La Mappangara Tomarilaleng Bone mengambil jalan pintas yaitu untuk
minta kepada Arumpone agar dirinya dapat diberhentikan sebagai
Tomarilaleng. Permintaan itu dipenuhi oleh Arumpone La Parenrengi dengan
pertimbangan bahwa pamannya itumemang sudah tua dan ingin istirahat.
Dalam
tahun 1849 M. setelah tugasnya sebagai Tomarilaleng Bone dilepaskannya,
maka naiklah ke Ujungpandang untuk minta perlindungan kepada Pembesar
Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres. Kepada Arung Sinri Pembesar
Kompeni Belanda menunjukkan tempat yang baik untuk ditempati, yaitu
Marus. Setelah kesepakatan antara Arung Sinri dengan Pembesar Kompeni
Belanda selesai dan Arung Sinri setuju untuk tinggal di Marus, maka
kembalilah ke Bone mengumpulkan semua barang-barangnya dan segenap
keluarganya untuk dibawa ke Ujungpandang.
Setelah
semua barang-barangnya selesai dikemas dan segenap keluarganya yang
akan mengikutinya dipersiapkan, La Mappangara Arung Sinri minta izin
kepada kemanakannya Arumpone untuk berangkat ke Ujungpandang. Arumpone
La Parenrengi melepas kepergian pamannya diikuti oleh beberapa
keluarganya. Arung Sinri bersama rombongannya berjalan menelusuri hutan,
melewati Lappariaja akhirnya sampai di padang yang luas di Maros, di
tempat yang telah ditunjukkan oleh Pembesar Kompeni Belanda, yaitu
tempat yang bernama SessoE.
Di
tempat itulah Arung Sinri dengan seluruh pengikutnya singgah dan
menetap. Kepada pengikutnya dibagikan tanah untuk digarap sebagai sumber
penghidupan dengan keluarganya.
We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara (1857–1860)
Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara menggantikan suaminya La Parenrengi menjadi
Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah
Imalahuddin. Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara dengan La Parenrengi
Arung Ugi adalah bersepupu satu kali karena kedua orang tuanya
bersaudara kandung dari MatinroE ri Rompegading. Ayah dari La Parenrengi
yang bernama La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung ri Bone
kawin dengan anak MappalakaE dengan suaminya yang bernama Muhammad
Rasyid Petta CambangE Arung Malolo ri Sidenreng.
La
Mappawewang dengan dengan La Tenri Sukki Arung Kajuara To MalompoE ri
Bone. La Tenri Sukki yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama
We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana anak dari We Maddilu Arung
Kaju dengan suaminya La Kuneng Arung Belawa Orai. Dari perkawinannya itu
lahirlah We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara.
Pada
masa pemerintahan We Tenriawaru Besse Kajuara, ketegangan antara Bone
dengan Kompeni Belanda kembali terjadi. Hal itu terjadi karena Kompeni
Belanda selalu menekankan untuk memperbaharui kembali Perjanjian
Bungaya, agar persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda tetap kokoh. Akan
tetapi Arumpone Besse Kajuara tetap bertegas untuk tidak akan
memperbaharui Perjanjian Bungaya, karena ada kemanakannya yang ingin
merebut kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone.
Kemanakannya
inilah yang selalu menghadap kepada Kompeni Belanda agar maksudnya
untuk menjadi Arumpone dapat disetujui. Pada saat MatinroE ri Ajang
Benteng meninggal dunia, kemanakannya itu sudah merasa dirinya berhak
untuk ditunjuk oleh Hadat Tujuh Bone. Kemanakannya itu bernama Singkeru’
Rukka Arung Palakka, anak We Baego Arung Macege dengan suaminya yang
bernama Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru, cucu dari MatinroE ri
Laleng Bata.
Dengan
demikian antara Bone dengan Gubernur Belanda kembali saling menyatakan
perang. Arumpone We Tenriawaru Besse Kajuara didukung oleh pamannya yang
bernama La Cibu To LebaE Ponggawa Bone untuk melawan Belanda. Pada
bulan Desember 1859 M. Gubernur Jenderal Belanda yang bernama Van Switen
bersama Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan
Djensin menyerang Bone. Dibelakangnya terdapat La Tenri Sukki Arung
Palakka yang ikut menyerang.
Arumpone
Besse Kajuara berkedudukan di Pasempe, sementara pasukan Belanda
membumi hanguskan Bone. Karena Arumpone merasa serangan Belanda semakin
kuat dan agar tidak terlalu banyak memakan korban, maka iapun menyatakan
kalah. Besse Kajuara meninggalkan Bone dan pergi ke Ajattappareng.
Dalam perjalannya ke Ajattappareng, Besse Kajuara dengan pengikutnya
singgah di Polejiwa dijemput oleh pamannya yang bernama La Cibu
Addatuang Sawitto Ponggawa Bone.
La
Cibu Addatuang Sawitto berpesan kepada kemanakannya Besse Kajuara untuk
memilih tempat diantara tiga wanuwa, yaitu; Suppa, Sawitto atau Alitta.
Setelah beristirahat beberapa hari, Besse Kajuara meninggalkan Polejiwa
dan melanjutkan perjalanan ke Alitta. Disitulah seorang anak Besse
Kajuara yang bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri
Paddanreng disuruh untuk menetap.
Selanjutnya
Besse Kajuara terus ke Suppa dan disitulah ia tinggal melihat dan
memperhatikan kepentingan orang Suppa, sampai akhirnya meninggal dunia.
Karena ia meninggal di Majennang Suppa, maka dinamakanlah MatinroE ri
Majennang Suppa.
Adapun
anak yang dilahirkan dari perkawinannya dengan La Parenrengi MatinroE
ri Ajang Benteng, adalah; pertama bernama Sumange’ Rukka, meninggal
ketika berperang saat mengungsikan ibunya ke Ajattappareng. Kedua
bernama We Sekati Arung Ugi, meninggal sebelum menikah. Ketiga bernama
We Bube, inilah yang menjadi Arung Suppa.
Selanjutnya
Besse Kajuara kawin lagi dengan La Rumpang Datu Pattiro, anak dari La
Onro Datu Lompulle dengan isterinya We Cecu Arung Ganra. Dari
perkawinannya itu tidak mnelahirkan anak dan Datu Suppa meninggal dunia,
Anaknya
yang lain bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri
Paddanreng. Inilah yang kawin di Gowa dengan La Makkulawu Karaeng
Lembang Parang. Anak KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallingkaang
Karaeng Katangka, dia juga bernama Pati Matareng Tu Mammenanga ri
Kalabbiranna dengan isterinya yang bernama We Pada Arung Berru Karaeng
Baine ri Gowa.
Singkeru’ Rukka Arung Palakka (1860–1871)
Singkeru’
Rukka Arung Palakka adalah anak We Baego Arung Macege dengan suaminya
yang bernama Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Cucu dari La
Mappasessu To Appatunru Arumpone MatinroE ri Laleng Bata. Sebelum
diangkat menjadi Arumpone, Singkeru’ Rukka Arung Palakka pernah juga
menjadi Arung Bulobulo.
Dia
diangkat menjadi Mangkau’ di Bone hanya semata-mata keinginan Kompeni
Belanda dan bukan atas kesepakatan Hadat Tujuh Bone. Dia diserahkan
akkarungeng di Bone oleh Kompeni Belanda, karena dialah yang selalu
menemani Kompeni Belanda untuk menyerang MatinroE ri Majennang Suppa.
Pada
tanggal 13 Februari 1860 M. kontrak perjanjiannya dengan Kompeni
Belanda selesai, sebab memang Akkarungeng ri Bone hanyalah diberi untuk
sementara, karena Singkeru’ Rukka terlalu menginginkannya. Namun dalam
khutbah Jumat namanya tetap disebut sebagai Sultan Ahmad.Dalam tahun
1871 M. Singkeru’ Rukka meninggal dunia di Topaccing dan dinamakanlah
MatinroE ri Topaccing.
Arumpone
Singkeru’ Rukka kawin dengan sepupu datu kali ibunya yang bernama Sitti
Saira Arung Lompu saudara perempuan MatinroE ri Ajang Benteng. Anak La
Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung ri Bone dengan isterinya We
Tabacina Karaeng Kanjenne. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Patima
Banri Arung Timurung. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang
bernama I Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo. Anak We Pada Arung Berru
dengan KaraengE ri Gowa Tu Mammenanga ri Kalabbiranna. We Patima Banri
Arung Timurung dengan I Magguliga Andi Bangkung melahirkan seorang anak
perempuan bernama We Sutera Arung Apala.
Selanjutnya
Singkeru’ Rukka Arung Palakka kawin lagi dengan I Kalossong Karaeng
Langelo. Dari perkawinannya itu lahirlah La Pawawoi Karaeng Sigeri.
Kemudian Singkeru’ Rukka kawin lagi dengan I Tatta atau I Jora, lahirlah
La Panagga, inilah yang menjadi Pangulu Jowa ri Bone. Kemudian La
Panagga kawin dengan Arung Patingai, lahirlah E Suka Arung Data. E Suka
Arung Data kawin dengan La Mallarangeng Daeng Mapata Arung Melle. Anak
dari La Makkarodda Anre Guru Anakarung Bone dengan isterinya We Kusuma,
anak Toancalo Petta CambangE Arung Amali To Marilaleng Bone. Dari
perkawinan itu lahirlah La Mandapi Arung Ponceng.
La
Mandapi kawin dengan Daeng Tapuji anak dari La Baso Daeng Sitaba Arung
Ponceng. Dari perkawinan itu lahirlah La Patarai dan We Nona. Kemudian
La Patarai kawin dengan anak Arung Bettempola La Makkaraka dengan
isterinya We Laje Petta Ince yang bernama We Tappu. Dari perkawinan La
Patarai dengan We Tappu, lahirlah ; pertama bernama We Ratna, kedua La
Takdir dan We Megawati.
We
Nona kawin di Parepare dengan La Dewang anak dari We Rela dengan
suaminya yang bernama La Makkawaru. Kemudian La Pananrang Pangulu JowaE
kawin lagi dengan We Saripa, lahirlah seorang anak laki-laki yang
bernama La Maddussila Daeng Paraga Tomarilaleng Bone, juga sebagai
MakkedangE Tana ri Bone. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya
yang bernama Petta Tungke Besse Bandong anak dari La Pawawoi Karaeng
Sigeri dengan isterinya yang bernama Daeng Matenne. Dari perkawinannya
itu lahirlah Amirullah.
Arumpone
Singkeru’ Rukka menjadi Mangkau’ di Bone dari tahun 1860 sampai tahun
1871. Kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Fatimah Banri.
Singkeru’ Rukka meninggal dunia di Topaccing, sehingga dinamakan
MatinroE ri Topaccing.
Fatimah Banri [We Banri Gau] (1871–1895)
We
Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya
Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah
Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah
Banri Datu Citta.
Dalam
tahun 1879 M. kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La
Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele
Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa. Dari
perkawinannya itu lahirlah We Sutera Arung Apala.
Setelah
Arumpone kawin dengan Karaeng Popo, Fatimah Banri memberikan kepada
suaminya Akkarungeng di Palakka. Setelah Arumpone We Banri Gau meninggal
dunia pada tahun 1895 M. berupayalah Karaeng Popo untuk menggantikan
isterinya sebagai Arumpone.Untuk itu ia mendekati Hadat Tujuh Bone agar
dirinya dapat diangkat menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan isterinya
Fatimah Banri atau We Banri Gau MatinroE ri Bolampare’na.
Akan
tetapi maksudnya itu dihalangi oleh iparnya yang bernama La Pawawoi
Karaeng Sigeri yang pada waktu itu menjadi Tomarilaleng ri Bone.
Alasannya adalah bahwa Karaeng Popo ketika isterinya masih hidup telah
banyak melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh orang Bone. Karaeng
Popo bersama Jowana (pengawalnya) sering melakukan tindakan keras yang
membuat rakyat kecil menderita.
Dengan
demikian Hadat Tujuh Bone dengan orang banyak sepakat untuk mengangkat
anak Fatinah Banri yang bernama We Besse Sutera Bau Bone Arung Apala
menjadi Mangkau’ di Bone. Pada waktu itu Besse Sutera Bau Bone baru
berusia 13 tahun.
Akan
tetapi kesepakatan Hadat Tujuh Bone dengan segenap orang Bone belum
disetujui oleh Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama
Tuan Braan Manrits. Alasannya ada kekhawatiran Bone dengan Gowa akan
bersatu melawan Kompeni Belanda. Untuk itu, Pembesar Kompeni Belanda
sendiri yang langsung masuk ke Bone. Adapun kesepakatan Pembesar Kompeni
Belanda Tuan Braan Manrits dengan Hadat Tujuh Bone yang akan diangkat
menjadi Mangkau’ ri Bone adalah saudara MatinroE ri Bolampare’na sendiri
yang bernama La Pawawoi Karaeng Sigeri.
La Pawawoi Karaeng Sigeri (1895–1905)
La
Pawawoi Karaeng Sigeri menggantikan saudaranya MatinroE ri Bolampare’na
menjadi Mangkau’ di Bone. Waktu itu La Pawawoi Karaeng Sigeri
sebenarnya sudah tua, tetapi karena memiliki hubungan baik dengan
Kompeni Belanda, sehingga dirinya yang ditunjuk untuk menjadi Mangkau’
di Bone. Seperti pada tahun 1859 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri membantu
Kompeni Belanda memerangi Turate dan ketika kembali dari Turate, pada
tahun 1865 M, maka diangkatlah sebagai Dulung Ajangale. Karena itulah
yang dijanjikan oleh Pembesar Kompeni Belanda kepadanya ketika membantu
memerangi Turate.
Keberanian
dan kecerdasan La Pawawoi Karaeng Sigeri dalam berperang menjadi buah
tutur sehingga namanya menjadi populer. Ketika saudaranya We Banri Gau
MatinroE ri Bolampare’na menjadi Mangkau’ di Bone, La Pawawoi Karaeng
Sigeri diangkat menjadi Tomarilaleng di Bone.
Setelah
selesai memerangi Turate, karena La Pawawoi dianggap berjasa dalam
membantu Kompeni Belanda, maka dimintalah untuk menjadi Karaeng di
Sigeri. Ketika Karaeng Bontobonto melakukan perlawanan terhadap Kompeni
Belanda, La Pawawoi Karaeng Sigeri dipanggil kembali oleh Kompeni
Belanda untuk membantu meredakan perlawanan Karaeng Bontobonto tersebut.
Perlawanan Karaeng Bontobonto yang dimulai pada tahun 1868 M. dan nanti
pada tahun 1877 M. baru dapat dipadamkan.
Karena
Pembesar Kompeni Belanda merasa berutang budi atas bantuan yang
diberikan oleh La Pawawoi Karaeng Sigeri, maka diberikanlah penghargan
berupa Bintang Emas besar dengan kalung yang dinamakan ; De Grote Gouden
ster voor traun en verdienste.
Kesepakatan
Hadat Tujuh Bone dengan Kompeni Belanda dan Arumpone untuk mengusir
Karaeng Popo dari Bone. Setelah Karaeng Popo kembali ke Gowa, anaknya
yang bernama We Sutera Arung Apala meninggal dunia pada tahun 1903 M.
Pada
tanggal 16 Februari 1895 M. terjadi lagi kesepakatan antara Kompeni
Belanda dengan Bone untuk memperbaharui Perjanjian Bungaya. Dengan
demikian, Kompeni Belanda bertambah yakin bahwa persahabatannya dengan
Bone sudah sangat kuat. Akan tetapi setahun setelah terjadinya kontrak
persahabatan itu, Belanda melihat adanya tanda-tanda bahwa perjanjian
yang pernah disepakati bakal diingkari oleh Arumpone.
Pada
tanggal 16 Februari 1896 M. perjanjian itupun dilanggar dan mulailah
berlaku keras terhadap sesamanya Arung dan juga kepada orang banyak.
Tindakan itu, seperti diperanginya Sengkang dan Arung Peneki, La Oddang
Datu Larompong, dengan alasan bahwa Arung Peneki dan Datu Larompong
menghalangi dagangan garamnya untuk masuk ke Pallime. Bagi Arung
Sengkang, mencampuri perselisihan antara Luwu dengan Enrekang.
Tingkat yang bisa dipegang oleh orang pribumi seperti Landshap atau Bestuur Assistent. Dibawanya disebut Kulp Bestuur Assistent yang biasa dipendekkan menjadi K.B.A.
Adapun bahagian-bahagian Afdeling Bone, adalah ;
- Onder Afdeling Bone Utara, ibu kotanya di Pompanuwa.
- Onder Afdeling Bone Tengah, ibu kotanya di Watampone, diperintah oleh Petoro Tengah yang disebut Controleur.
- Onder Afdeling Bone Selatan, ibu kotanya di Mare diperintah oleh Aspirant Controleur.
- Onder Afdeling Wajo, ibu kotanya Sengkang (sebelum Belanda di Tosora) diperintah oleh Controleur.
- Onder Afdeling Soppeng, ibu kotanya Watassoppeng diperintah oleh Controleur.
Kembali
kepada kedatangan Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri di Pitumpanuwa,
karena pada saat itu memang termasuk dibawah kekuasaan Bone. Disebut
Pitumpanuwa karena ada tujuh wanuwa yang berada dibawah pengaruh Bone.
Ketujuh wanuwa tersebut, adalah ; pertama Kera, kedua Bulete, ketiga
Leworeng, keempat Lauwa, kelima Awo, keenam Tanete, ketujuh Paselloreng.
Setelah
Bone kalah yang dalam catatan sejarah disebut Rumpa’na Bone, barulah
diambil oleh Belanda dan diserahkan kepada Wajo. Akan tetapi hanyalah
berbentuk Lili Passeajingeng artinya segala perintah tetap dikeluarkan
oleh Kompeni Belanda. Begitu pula di Bone, sejak ditawannya La Pawawoi
Karaeng Sigeri segala perintah hanya dilakukan oleh Hadat Bone dibawah
kendali Kompeni Belanda.
Di
Wajo tetap Arung Matowa Wajo yang menjadi penyambung lidah Kompeni
Belanda, sedang di Soppeng dilakukan oleh Datu Soppeng dan Bone
dilakukan oleh TomarilalengE.
Yang
pertama – tama dilakukan oleh Kompeni Belanda setelah Arumpone
diasingkan ke Bandung, adalah mengumpulkan semua sisa-sisa persenjataan
dari laskar Arumpone yang masih tersimpan. Dipungutlah sebbu kati
(persembahan) dari masyarakat sebesar tiga ringgit untuk satu orang.
Pungutan itu adalah pengganti kerugian Belanda selama berperang melawan
Arumpone.
Setelah
pungutan yang diberlakukan di wilayah TellumpoccoE selesai, mulai
Belanda membuat jalan raya. Seluruh laki-laki yang mulai dewasa sampai
kepada laki-laki yang berumur 60 tahun diwajibkan bekerja untuk membuat
jalan raya tersebut. Bagi yang tidak mampu untuk bekerja dapat membayar
sebesar tiga ringgit.
Ketika
Belanda merasa tenang dan tidak ada lagi persoalan yang berat dihadapi,
maka ibu kota Afdeling Bone dipindahkan dari Pompanuwa ke Watampone.
Assistent Resident Bone berkedudukan di Watampone.
Adapun
La Pawawoi Karaeng Sigeri yang pada mulanya diasingkan di Bandung,
akhirnya dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La
Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah
MatinroE ri Jakarta. Dalam tahun 1976 M. dianugrahi gelar sebagai
Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam
Pahlawan Kalibata.
Setelah
La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia, tidak jelas siapa sebenarnya
anak pattola (putra mahkota) yang bakal menggantikannya sebagai
Mangkau’ di Bone. Baso Pagilingi yang dipersiapkan untuk menjadi putra
mahkota, ternyata gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Awo. Pada
saaat gugurnya Baso Pagilingi Petta PonggawaE, La Pawawoi Karaeng Sigeri
langsung menaikkan bendera putih sebagai tanda menyerah.
Rupanya
La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya yang bernama Baso
Pagilingi itu adalah benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap
Belanda. Sehingga setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap ;
Rumpa’ni Bone, artinya benteng pertahanan Bone telah bobol.
Baso
Pagilingi itulah yang dilahirkan dari perkawinannya dengan isterinya
yang bernama We Karibo cucu dari Arung Mangempa di Berru. Karena hanya
itulah isterinya yang dianggap sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) di
Bone. Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri menjadi Mangkau’ di Bone,
diangkat pulalah putranya Baso Pagilingi Abdul Hamid sebagai Ponggawa
(Panglima Perang).
Baso
Pagilingi Abdul Hamid kawin dengan We Cenra Arung Cinnong anak dari La
Mausereng Arung Matuju dengan isterinya We Biba Arung Lanca. Dari
perkawinannya itu, lahirlah La Pabbenteng Arung Macege.
Selanjutnya
La Pawawoi Karaeng Sigeri kawin lagi dengan Daeng Tamene, yang juga
cucu dari Arung Mangempa di Berru. Dari perkawinannya itu lahirlah
seorang anak perempuan yang bernama We Tungke Besse Bandong, karena
inilah isteri yang mengikutinya sewaktu diasingkan ke Bandung. Kemudian
We Tungke Besse Bandong kawin dengan La Maddussila Daeng Paraga anak
dari Pangulu JowaE ri Bone saudara MatinroE ri Jakarta dengan isterinya
yang bernama We Saripa.
Ketika
La Pabbenteng diangkat menjadi Arumpone, suami Besse Bandong yang
bernama Daeng Paraga diangkat pula menjadi MakkedangE Tana. Karena
MakkedangE Tana meninggal dunia, maka Besse Bandong kawin lagi dengan
sepupu dua kalinya yang bernama La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang
SombaE ri Gowa, anak dari I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo
dengan isterinya Karaeng Tanatana.
Adapun
anak La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan isterinya yang bernama We Patimah
dari Jawa Sunda, ialah La Mappagau. Inilah yang melahirkan La Makkulawu
Sulewatang Pallime. Anak selanjutnya bernama Arung Jaling, inilah yang
kawin dengan Ali Arung Cenrana anak dari La Tepu Arung Kung dengan
isterinya We Butta Arung Kalibbong. Dari perkawinannya itu lahirlah ;
pertama bernama We Manuare , kedua bernama Arase, ketiga bernama La
Sitambolo.
La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa (1931–1946)
La
Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa yang juga dikernal dengan nama Datu
Silaja. Pada masa Perang Gowa tahun 1906 M, ketika I Makkulawu Karaeng
Lembang Parang KaraengE ri Gowa berperang dengan Kompeni Belanda.
Setahun setelah tertangkapnya La Pawawoi dan diasingkan ke Bandung,
Kompeni Belanda mengalihkan perangnya dari Bone ke Gowa. Padahal antara
La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan SombaE ri Gowa adalah bersepupu satu
kali. Ketika itu La Mappanyukki menjadi Datu Lolo ri Suppa, dia
bersaudara dengan La Panguriseng Datu Alitta. Karena ayahnya adalah
Karaeng ri Gowa, sehingga Suppa dengan Alitta melibatkan diri pada
Perang Gowa untuk membantu ayahnya.
Adapun
sebabnya Gowa diperangi oleh Kompeni Belanda, karena Belanda menyangka
kalau Dulung Awang Tangka Arung Labuaja salah seorang Panglima Perang
Bone pada masa pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri bersembunyi di
Gowa. Selain itu Belanda berkeyakinan apabila kedua Bocco (Bone dan
Gowa) telah ditaklukkan, maka daerah-daerah lain di Celebes Selatan akan
mudah ditaklukkan. Makanya ketika pusat pemerintahan Gowa berhasil
diduduki, SombaE ri Gowa mengungsi ke Ajattappareng bersama pengikutnya.
Dia menetap di Suppa dan Alitta karena tempat itu merupakan akkarungeng
kedua anaknya yaitu La Panguriseng di Alitta dan La Mappanyukki di
Suppa.
Perang
Gowa berakhir dengan gugurnya KaraengE ri Gowa dan putranya yang
bernama La Panguriseng Datu Alitta. Oleh karena itu KaraengE ri Gowa
dinamakan Tu Mammenanga ri Bundu’na. Sementara La Mappanyukki ditawan
oleh tentara Belanda dan diasingkan ke Selayar. Itulah sebabnya La
Mappanyukki dinamakan pula sebagai Datu Silaja.
La
Mappanyukki diangkat menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan pamannya
yaitu sepupu satu kali ayahnya, karena jelas bahwa dia adalah cucu dari
MappajungE. Dia sengngempali dari turunan La Tenri Tappu MatinroE ri
Rompegading. Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dianggap tidak salah pilih
dalam menentukan pengganti La Pawawoi Karaeng Sigeri sebagai Mangkau’
di Bone.
Ibu
dari La Mappanyukki bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We
Tenri Paddanreng Arung Alitta anak La Parenrengi MatinroE ri Ajang
Benteng dengan isterinya We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara.
Sedangkan ayahnya bernama I Makkulawu Karaeng Lembang Parang Somba di
Gowa Tu Mammenanga ri Bundu’na, anak dari We Pada Arung Berru, anak We
Baego Arung Macege dengan suaminya Sumange’ Rukka To Patarai Arung
Berru. We Baego adalah anak dari La Mappasessu To Appatunru Arumpone
MatinroE ri Laleng Bata.
Pada
hari Kemis tanggal 12 April 1931 M. Dan 13 Syawal 1349 H. La Mappanukki
dilantik menjadi Mangkau’ di Bone dan dalam khutbah Jumat namanya
disebut sebagai Sultan Ibrahim. Pada waktu itu Pembesar Kompeni Belanda
di Celebes Selatan bernama Tuan L.J.J. Karon serta Raja Belanda di
Nederland pada waktu itu bernama A.C.A de Graff.
Setelah
dilantik menjadi Mangkau’ di Bone La Mappanyukki meminta kepada
Pembesar Kompeni Belanda untuk diberikan kembali rumah (salassa) milik
La Pawawoi Karaeng Sigeri yang diambil oleh Belanda pada saat
diasingkannya La Pawawoi ke Bandung. Permintaan tersebut dipenuhi oleh
Pembesar Kompeni Belanda. Rumah itulah yang ditempati Arumpone La
Mappanyukki bersama seluruh anggota Hadat Tujuh Bone sebagai tempat
untuk melaksanakan pemerintahannya.
Pada
masa pemerintahan La Mappanyukki, La Pabbenteng Arung Macege anak dari
Baso Pagilingi Abdul Hamid dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong,
membunuh sepupu satu kalinya yang bernama Daeng Patobo saudara dari La
Sambaloge Daeng Manabba Sulewatang Palakka. Oleh karena itu dia
dikeluarkan dan diberhentikan sebagai Arung Macege. Kemudian Arumpone La
Mappanyukki memanggil anaknya yang bernama La Pangerang yang pada waktu
itu menjadi Bestuur Assistent atau Lanshap di Gowa untuk menggantikan
La Pabbenteng sebagai Arung Macege.
Anaknya
yang bernama La Pangerang itulah yang sering menggantikan ayahnya kalau
bepergian jauh atau pada saat ayahnya tidak berkesempatan.
Pada
masa pemerintahan La Mappanyukki di Bone, Perang Dunia II pecah dan
melibatkan seluruh negara-negara besar di Eropa. Negeri Belanda diserbu
oleh Jerman, Ratu Belanda Wilhelmina melarikan diri bersama seluruh
keluarganya ke Inggeris untuk minta perlindungan.
La
Mappanyukki yang dikenal patuh dalam melaksanakan syariat Islam,
sehingga pada tahun 1941 M. ia mendirikan Mesjid Raya Watampone. La
Mappanyukki mengundang Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan
Resident Boslaar untuk meresmikan pemakaian mesjid tersebut.
Pada
tanggal 8 Desember 1941 M. dampak Perang Dunia II juga terjadi di
Celebes Selatan dengan datangnya Bangsa Jepang bersekutu dengan Jerman
dan Italia untuk melawan Belanda dan Amerika. Pada tahun 1942 M. Belanda
bertekuk lutut kepada Jepang dan Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta
menyerah.
Pada
masa pemerintahan Jepang, nama Mangkau diganti dengan Bahasa Jepang
menjadi Sutyoo dan Hadat menjadi Sutyoo Dairi. Sedangkan Arung Lili
disebut Guntyoo dan Kepala Kampung disebut Sontyoo. Kedudukan Controleur
Petoro Belanda diganti dengan Bunken Kanrikan, sedangkan kedudukan
Assistent Resident diganti dengan Ken Kanrikan.
Jepang
memerintah selama tiga setengah tahun yang membuat penderitaan dan
kesengsaran bagi penduduk negeri. Hampir seluruh penduduk mengalami
kekurangan makanan dan pakaian. Terjadilah kelaparan dimana-mana,
perampokan juga tidak bisa ditanggulangi.
Karena
Jepang merasa semakin terdesak dan tidak mampu lagi untuk memperkuat
perlengkapan perangnya, Jepang membujuk penduduk pribumi untuk ikut
memperkuat tentaranya dengan membentuk Heiho yang dikenal di Jawa
sebagai Pembela Tanah Air (PETA).
Dalam
tahun 1944 M. Jepang menjanjikan kemerdekan kepada Bangsa Indonesia.
Datanglah Ir. Soekarno dari Jawa ke Celebes Selatan ( Ujungpandang)
untuk menjelaskan kepada penduduk tentang maksud dan tujuan kemerdekaan
itu. Setelah Ir. Soekarno kembali ke Jawa, Jepang juga mulai menarik
diri dari kegiatan pemerintahan. Diangkatlah La Pangerang Arung Macege
untuk menempati kedudukan Jepang yang disebut Ken Kanrikan.
Pada
awal Kemerdekan Indonesia banyak orang yang ragu dan sulit untuk
menentukan pendirian, dengan alasan sangat berbahaya dari tekanan
Tentara Australia yangt bernama NICA ( Nederloand Indiche Cipil
Administration). Namun bagi Arumpone La Mappanyukki dengan tegas
menyatakan tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang di
peroklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 M.
Adapun
anaknya yang bernama La Pangerang yang pernah menjadi Arung Macege,
pada masa pemerintahan Jepang diangkat sebagai Ken Kanrikan sama dengan
Petoro Besar atau Assistent Residen di zaman Belanda. Pada awal
kemerdekaan Republik Indonesia, ditunjuk bersama DR Ratulangi pergi ke
Jakarta sebagai utusan Indonesia bahagian timur dalam mempersiapkan
Kemerdekaan Indonesia. Tetapi setelah kembali dari Jawa, ia ditangkap
oleh tentara NICA dan diasingkan ke Tanah Toraja bersama ayahnya La
Mappanyukki.
Setelah
proklamasi kemerdekan 17 Agustus 1945 dikumandangkan oleh Soekarno dan
Hatta,La Pangerang dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala
Daerah Kabupaten Bone lama yang meliputi TellumpoccoE, kemudian diangkat
menjadi Residen bersama Karaeng Pangkajenne yang bernama Burhanuddin,
ketika Lanto Daeng Pasewang menjadi Gubernur Sulawesi. Setelah masa
jabatan Lanto Daeng Pasewang berakhir, maka Pangerang yang nama
lengkapnya Pangerang Daeng Rani menggantikannya menjadi Gubernur
Sulawesi.
La
Pangerang Daeng Rani kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama
Petta Lebba, anak La Panguriseng saudara La Mappanyukki dengan isterinya
I Puji. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama bernama Abdullah
Petta Nyonri, kedua bernama We Cina atau Mariayama, ketiga bernama We
Ralle, keempat bernama We Tongeng. Kelima bernama I Kennang. Kemudian La
Pangerang Daeng Rani kawin lagi dengan I Suruga Daeng Karaeng, anak
Karaeng Parigi
Sedangkan anak La Mappanyukki yang bernama Abdullah Bau Massepe, inilah yang menjadi Datu Suppa.
Akan
tetapi dimasa perang kemerdekan, dia dibunuh oleh serdadu Belanda yang
bernama Westerling dalam peristiwa Korban 40.000 jiwa di Sulawesi
Selatan. Abdullah Bau Massepe kawin dengan We Soji Petta Kanjenne.
Anak
La Mappanyukki dengan isterinya yang bernama Besse Bulo adalah I
Rakiyah Bau Baco Karaeng Balla Tinggi. Inilah yang menjadi Addatuang
Sawitto. Kawin dengan La Makkulawu anak dari We Mappasessu Datu WaliE,
dengan suaminya yang bernama La Mappabeta. Selanjutnya anak La
Mappanyukki dari isterinya yang bernama We Mannenne Karaeng Balangsari,
adalah ; We Tenri Paddanreng. Inilah yang kawin di Luwu dengan La Jemma
atau La Patiware Pajung ri Luwu.
Ketika
La Pangerang Daeng Rani menjadi Gubernur Sulawesi, pemerintah pusat
membagi Sulawesi menjadi dua Provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan
dan Provinsi Sulawesi Utara. Kemudian kewedanan juga dirubah menjadi
kabupaten. Oleh karena itu Kabupaten Bone lama dipecah menjadi tiga
kabupaten, yaitu ;
- Kabupaten Bone dengan ibu kotanya Watampone.
- Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang.
- Kabupaten Soppeng dengan ibu kotanya Watassoppeng.
Hal
yang demikian, merupakan realisasi dari UU No.4 Tahun 1957 sebagai
pembubaran Daerah Bone lama meliputi Daerah Bone baru, ialah Zelfbestuur
atau Swapraja Bone, ialah Kabupaten Bone baru dengan ibu kotanya
Watampone.
Pada
waktu itu, La Mappanyukki dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati
Kepala Daerah Kabupaten Bone. Setelah sampai masa jabatan dan pensiun,
maka kembalilah La Mappanyukki ke Jongaya. Pada tanggal 18 Februari 1967
M. ia meninggal dunia dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan
Panaikang.
RAJA RAJA BONE
Oleh : sugianto (Anthogoodwill)
STIA PRIMA WATAMPONE